Pramoedya.id: Dulu, waktu pemerintah gencar mempromosikan “SMK Bisa!”, rasanya keren banget. Anak-anak yang masuk SMK digadang-gadang bakal lebih cepat dapat kerja, nggak perlu kuliah lama-lama, langsung terjun ke dunia industri.
Bahkan, saat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai berlaku, SMK disebut-sebut sebagai garda terdepan tenaga kerja Indonesia dalam menghadapi persaingan global.
Tapi sekarang, pertanyaannya: SMK bisa apa? Bisa kerja, bisa bersaing, atau malah bisanya hanya jadi penyumbang pengangguran terbesar?
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2024 mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia sebesar 4,82 persen, turun 0,63 persen poin dibanding Februari 2023. Namun, lulusan SMK masih menyumbang jumlah pengangguran tertinggi. Ironis bukan untuk pendidikan yang mestinya begitu lulus langsung kerja.
Apalagi kalau lihat jumlah sekolahnya. Saat ini ada 14.064 SMK di Indonesia (data BPS 2023/2024). Bayangkan, puluhan ribu sekolah kejuruan, tapi lulusannya malah susah cari kerja. Ibarat bikin pabrik tahu dalam jumlah besar, tapi pas dijual, pembelinya malah pilih tempe.
Sebagai lulusan SMK jurusan Teknik Komputer dan Jaringan (TKJ), gwaa bisa bilang kalau ada beberapa alasan kenapa lulusan SMK masih kesulitan masuk ke dunia kerja.
Pertama, jurusan yang diajarkan sering kali nggak nyambung dengan kebutuhan industri. Masih banyak sekolah yang mengajarkan teknologi lama, padahal dunia industri sudah berubah jauh. Di jurusan gwaa dulu, misalnya, banyak materi tentang jaringan berbasis kabel, sementara tren sekarang sudah ke arah nirkabel dan cloud computing. Hasilnya? Begitu lulus, ilmu yang dipelajari udah ketinggalan zaman.
Masalah kedua ada di program magang. Harusnya ini jadi kesempatan buat belajar kerja di industri, tapi yang terjadi justru lebih banyak yang magangnya cuma jadi “asisten umum”. Banyak teman-teman yang cerita kalau magang mereka lebih sering diisi dengan bikin kopi, fotokopi, nyapu-nyapu, atau cuma disuruh lihat-lihat tanpa dikasih tugas berarti. Alih-alih jadi bekal buat kerja, magang malah terasa seperti formalitas belaka.
Lalu, ada juga masalah soft skills dan bahasa asing. Persaingan di dunia kerja sekarang bukan cuma soal bisa ngoding atau bikin desain grafis, tapi juga soal komunikasi dan adaptasi. Banyak lulusan SMK yang jago di keahlian teknis, tapi begitu masuk wawancara kerja, bingung harus ngomong apa.
Mau kerja di perusahaan multinasional, bahasa Inggris pas-pasan. Mau wirausaha, ngak ada pelatihan bisnis. Apalagi mau mimpi kerja diluar negeri dengan modal ijazah SMK, itu sudah seperti mimpi disiang bolong.
Pemerintah daerah dan pusat juga seharusnya ikut berperan dalam menyalurkan lulusan SMK ke dunia industri. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Alih-alih membuka lebih banyak kesempatan kerja, banyak lulusan SMK malah didorong untuk kuliah.
Padahal, sejak awal, mereka sudah memilih jalur pendidikan yang dirancang untuk siap kerja, bukan untuk lanjut sekolah lagi.
SMK sebenarnya bisa tetap jadi solusi kalau ada perombakan besar-besaran. Kurikulum harus diperbarui secara berkala agar sesuai dengan kebutuhan industri.
Program magang harus lebih dari sekadar formalitas, benar-benar menyiapkan siswa untuk dunia kerja yang sesungguhnya. Pendidikan di SMK juga harus lebih fleksibel, tidak hanya fokus pada keterampilan teknis, tapi juga membekali siswa dengan soft skills, bahasa asing, dan pemahaman bisnis.
Kalau nggak ada perubahan? Ya siap-siap aja, slogan “SMK Bisa!” bakal terus jadi bahan bercandaan. Karena sampai sekarang, pertanyaannya masih sama: bisa apa? (*)