“Kita tidak akan pernah bisa mendidik rakyat bila kita membagi-baginya dalam kotak-kotak sosial. Sekolah yang membebaskan adalah sekolah yang mencampurkan manusia.”
Pramoedya.id: Barangkali parafrasa dari pemikiran dua tokoh besar dunia pendidikan di atas cukup tepat menjadi pengantar tulisan ini. Freire mengajarkan bahwa pendidikan merupakan alat untuk membebaskan manusia dari penindasan, bukan untuk menyesuaikannya dengan struktur sosial yang timpang. Illich, dalam Deschooling Society, menyerang sistem pendidikan modern yang justru melanggengkan ketimpangan lewat legitimasi birokrasi.
Dua pemikiran itu bergema kembali ketika saya menatap kebijakan “Sekolah Rakyat” ala pemerintahan Prabowo Subianto. Program ini, yang dibungkus dengan jargon keadilan sosial, sejatinya menyimpan ironi besar: ia memisahkan mereka yang paling miskin dari ruang pendidikan umum, dan menempatkannya dalam sistem yang sepenuhnya dikendalikan oleh negara. Bukan integrasi, tapi isolasi.
Porsi besar pekerjaan digarap Kementerian Sosial, itu sudah cukup memberi isyarat bahwa Sekolah Rakyat lebih menyerupai proyek rekayasa sosial ketimbang reformasi pendidikan. Targetnya jelas: anak-anak dari keluarga termiskin, yang masuk dalam Desil 1 dan 2 menurut Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN).
Untuk kalender akademik 2025/2026, sebanyak 53 sekolah disiapkan guna menampung sekitar 2.500 murid. Guru yang dibutuhkan lebih dari 1.000 orang, terbagi dalam dua jenis: guru formal untuk pelajaran akademik dari pagi hingga sore, dan guru pendidikan karakter yang melanjutkan pengawasan hingga malam hari. Ini bukan sekadar pendidikan—ini pengasramaan, pembentukan watak, dan semacam kontrol total negara terhadap kehidupan sehari-hari anak-anak yang dianggap “harus dibenahi”.
Pertanyaannya: kenapa negara tidak memperbaiki sekolah negeri yang sudah ada? Kenapa harus membuat institusi baru yang secara terang-terangan hanya menerima si miskin?
Sekolah negeri adalah milik negara. Harusnya ia jadi tempat semua warga belajar bersama—si kaya dan si miskin, si pandai dan si biasa-biasa saja. Tapi yang terjadi, pemerintah menciptakan ruang belajar khusus bagi “kelas bawah”. Dan ketika pendidikan mulai dibagi berdasarkan isi dompet, maka yang sedang dibangun bukan kesetaraan, tapi legitimasi pemisahan kelas.
Mereka yang masuk Sekolah Rakyat akan mendapat kurikulum berbeda, jam belajar berbeda, bahkan relasi sosial yang berbeda. Anak-anak dibentuk bukan untuk bersaing dalam dunia yang luas, tapi cukup untuk bertahan dalam batas yang telah ditentukan. Keadilan yang diklaim pemerintah justru membentuk garis ketidakadilan yang baru—dan kali ini, lebih sistematis.
Pemerintah mengklaim akan merekrut guru-guru terbaik, yang telah lulus PPG dan memiliki empati sosial. Tapi dengan waktu yang mepet dan kebutuhan cepat, proses seleksi ini rentan jadi formalitas. Apakah cukup dengan asesmen administratif dan wawancara daring untuk mengukur kemampuan seseorang mendampingi anak-anak miskin ekstrem?
Ada pula guru pendidikan karakter—posisi yang tak biasa dalam struktur pendidikan kita. Karakter seperti apa yang akan mereka bangun? Apakah nilai-nilai moral universal, atau nilai-nilai nasionalistik-otoritatif ala program bela negara?
Pola pendidikan pagi sampai malam, kurikulum karakter, seleksi administratif hingga home visit, semuanya menunjukkan bahwa Sekolah Rakyat tidak dirancang sebagai ruang belajar bebas, melainkan ruang kontrol. Anak-anak ini tidak hanya dinilai dari kemampuan akademik, tapi juga dari latar sosial dan kondisi keluarganya.
Bukannya diberi kesempatan belajar setara, mereka justru harus lolos berbagai pintu seleksi yang bahkan tak dilalui oleh anak-anak dari keluarga mampu yang bisa masuk sekolah negeri atau swasta biasa. Di sini, pendidikan berubah dari alat mobilitas sosial menjadi alat klasifikasi sosial.
Sekolah Rakyat mungkin lahir dari niat baik. Tapi niat baik tanpa kesadaran struktur hanya akan melahirkan solusi semu. Yang miskin diberi sekolah khusus, yang kaya tetap punya akses ke sekolah umum yang difasilitasi penuh. Ini bukan penyelesaian, ini justru bentuk formal dari pengakuan bahwa sekolah negeri tak lagi inklusif.
Jika pemerintah serius ingin memperjuangkan keadilan, mestinya perbaikan dimulai dari sekolah yang ada. Libatkan anak-anak dari seluruh latar belakang untuk duduk bersama. Biarkan mereka belajar hidup dalam keragaman, bukan dalam pengkotakan.
Sekolah Rakyat adalah gambaran paling terang dari dilema pendidikan kita hari ini. Negara ingin membantu yang miskin, tapi malah menciptakan ruang khusus yang semakin memisahkan mereka dari yang lain. Negara ingin menyamaratakan akses, tapi justru mempertebal perbedaan.
Jika pendidikan adalah alat pembebasan, maka kita harus waspada: jangan sampai Sekolah Rakyat berubah menjadi alat pembungkaman yang baru—dibungkus rapi dalam kata-kata manis bernama “keadilan”.(*)