Ditulis oleh: Hafidz Fatur Rahman (Kader PMII Universitas Lampung)
Pramoeadya: Aksi demonstrasi yang terjadi di Jakarta dan sebagian wilayah di Indonesia pada 25 dan 28 Agustus 2025 diikuti oleh para relawan aksi yang tergabung dari kalangan mahasiswa, pelajar, buruh, aktivis sosial, ojol, ormas, dan masyarakat sipil menyisakan kisah kelam yang sangat pahit untuk diceritakan.
Pasalnya, aksi yang terjadi ini mempertontonkan tragedi yang semua orang bahkan melihatnya. Dimana letak demokrasi yang katanya kekuasaan tertinggi ditangan rakyat, para pendemo digebuk aparat, apa baru ada nyawa yang hilang akan membuat polisi sadar, bahwa sebenarnya hanya diperbudak oleh DPR untuk menjadi tamengnya saja?
Secara tidak langsung, DPR berhasil mengalihkan amukan rakyat dari pendemo ke aparat. Sejatinya yang dicari pendemo adalah anggota DPR guna menyampaikan protesnya secara langsung, tapi apa hendak dikata mereka semua tidak ada di tempat, Yang ada hanyalah aparat yang mau tidak mau harus menjalankan tugas menjaga keamanan dan ketertiban. Pada akhirnya sama seperti biasa, kontak fisik aparat dengan pendemo pecah.
Affan Kurniawan, driver ojek online yang menjadi tulang punggung keluarga, meninggal dengan sangat tragis dan dengan cara yang biadab yang dilakukan oleh oknum polisi. Affan meninggal karena dilindas mobil polisi saat demonstrasi dihadapan DPR untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Affan yang sehari-harinya bekerja dengan rajin untuk mengantarkan makanan dan menjemput orang, kini harus dihabisi oleh kendaraan yang tentu dibeli dari pajaknya.
Ironisnya, mobil polisi tersebut bernama “Barracuda” yang tentu dibeli dari hasil pajak oleh rakyat, tapi naasnya kendaraan tersebut untuk menindas dan melindas rakyat. Ini tentu suatu bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Miris, cukup tragis dan menyisakan luka yang sangat mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia.
Negara kembali menghadirkan luka dan mengulang sejarah yang kelam dengan menggunakan kekuasaan untuk menindas dan melakukan kekerasan. Masyarakat sudah berkali-kali dipertontonkan dengan kejadian yang hampir serupa hanya saja aktor dan lokasinya saja yang berbeda.
Ini menambah catatan kelam kejadian-kejadian yang tentu mengingatkan tantang bagaimana kejadian yang serupa juga pernah terjadi.
Masih teringat mengenai seorang mahasiswa UIN Maulana Hasanuddin berinisial FA yang terkena tindakan arogansi dari seorang brigadir polisi dari Polres Kota Tangerang. Ia terkena tindakan yang sangat tidak manusiawi, dihajar, dibanting, dan ditendang. Setelah dibanting dan ditendang, FA mengalami kejang-kejang. Tindakan itu terjadi tanggal 13 Oktober 2021 saat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Kabupaten Tangerang menggelar aksi unjuk rasa memperingati hari ulang tahun ke-389 Kabupaten Tangerang.
Bahkan dalam tubuh institusi Polri sendiri, pada Juli 2022 ada sebuah tragedi yang menyeret Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo dalam keterlibatannya dalam pembunuhan berencana Brigadir Yoshua Hutabarat. Tak berhenti disitu, diingatkan pula pada insiden mencekam di Kanjuruhan 2022. Sejumlah 131 nyawa melayang akibat ulah anarkis dari institut polisi yang menembakkan gas air mata tanpa kendali.
Beberapa contoh kejadian ini tentu harus dijadikan sebagai bahan evaluasi total ditubuh polri. Mungkin masih banyak yang tak terindikasi media, tapi yang paling penting adalah evaluasi total dan revolusi akhlak para aparat kepolisian.
Jika akhir-akhir ini ada beberapa tagar yang lahir seperti #Polisi Brutal #PolisiPembunuhRakyat #SatuHariSatuOknum tentu bukan tanpa ada alasan yang melatarbelakanginya sehingga muncul tagar semacam itu. Tagar ini muncul akibat berbagai kasus yang melibatkan penyalahgunaan wewenang atau tindakan tidak profesional oleh oknum polisi.
Kepercayaan masyarakat seakan pudar dan sudah hilang, instansi yang katanya pengayom masyarakat, pelindung rakyat, apakah pantas melakukan tindakan yang anarkis, arogan, dan penuh kebiadaban. Lalu apa bedanya dengan manusia yang tak bermoral? Insiden ini bukan hanya sekedar tindakan pelanggaran prosedural, melainkan sebuah bentuk kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa ditoleransi.
Teringat syair daripada Sudaif bin Maimun, seorang penyair Mekkah pada abad II, yang dinukil oleh As-Sakhawi dalam kitabnya At-Tuhfatul Lathifah (III/93), ia mengingatkan:
أَسْرَفْتَ فِي قَتْلِ الرَّعِيَّةِ ظَالِمًا فَاكْفُفْ يَدَيْكَ إِخَالُهَا مَهْدِيُّهَا
“Engkau telah berlebihan membunuh rakyat secara jahat. Tahan tanganmu, bukankah guna tangan untuk memberi petunjuk manusia?”
Walau dengan begitu, Listyo Sigit Prabowo, selaku Kapolri hanya menyampaikan permohonan ma’af atas kesalahan yang diperbuat anggotanya. Lalu, apakah sebanding nyawa manusia yang tak berdosa harus gugur karena ulah aksi bejat anggotanya?
Sungguh anarkis, miris, serupa iblis. Kekerasan oleh aparat adalah pengkhianat terhadap tugasnya dalam melindungi rakyat. (*)