Perjuangan Menebas Tebu yang “Dilindungi”

- Editor

Senin, 29 September 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pramoedya.id: Hujan sore baru saja reda ketika beberapa warga berkumpul di tepi jalan tanah di Tulang Bawang. Dari kejauhan, barisan tebu berdiri rapi, hijau, dan seakan tak berujung. Bagi pengendara yang melintas di jalan Trans Sumatra, pemandangan itu menyejukkan mata. Tapi bagi mereka yang tinggal di sekitarnya, hamparan hijau itu justru menjadi penanda kesengsaraan dari sawah yang tak lagi bisa digarap, sungai yang tak lagi jernih, dan tanah yang entah sejak kapan masuk dalam peta konsesi.

“Dulu kami bisa menanam padi di sini, dua kali setahun. Air mengalir deras dari sungai kecil. Sekarang? Semua habis, jadi kebun tebu,” ujar seorang warga yang tergabung dalam Triga Lampung. Suaranya terdengar getir, mengingat betapa cepat perubahan itu datang, Senin (29/9/2025).,

Hak Guna Usaha yang bagi sebagian orang hanya terdengar sebagai urusan dokumen dan peta, bagi warga desa berarti hidup atau tidak. Ia menentukan apakah sawah masih bisa menghasilkan, apakah sumur masih mengeluarkan air, apakah anak-anak masih punya ruang bermain. PT Sugar Group Companies (SGC), salah satu raksasa gula di negeri ini, memegang konsesi lahan luas di Lampung. Namun batas konsesi itu kerap dipersoalkan. Warga menuding sawah desa, bahkan kawasan resapan air, masuk dalam wilayah HGU.

Seiring meluasnya kebun tebu, kehidupan sehari-hari pun berubah. Ibu rumah tangga harus membeli air galon karena sumur mereka kering. Petani tak lagi bisa menanam padi di tanah yang sejak kecil mereka pijak. Anak-anak yang dulu bermain di sungai kini hanya melihat aliran air keruh, bercampur lumpur, dan makin lama makin surut.

Aktivis lingkungan mengingatkan bahwa ekspansi perkebunan monokultur membawa konsekuensi ekologis serius. Tanah yang terus ditanami tanaman seragam akan mudah kehilangan kesuburan. Kebutuhan air kebun besar kerap mengurangi pasokan untuk masyarakat sekitar.

“Kalau lingkungan rusak, semua ikut menanggung akibatnya,” kata Indra Musta’in, Ketua AKAR Lampung  yang sejak awal lembaganya konsen memperjuangkan hak warga disana.

Perlawanan ini tidak lahir begitu saja. Ia punya dasar yang jelas berupa konstitusi menegaskan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Undang-undang agraria menyebut tanah dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Undang-undang lingkungan hidup melindungi pejuang lingkungan dari kriminalisasi.

“Ini bukan melawan negara. Justru mengingatkan negara agar hadir melindungi rakyat,” kata Suadi Romli, Ketua Pematank Lampung.

Sejak beberapa tahun terakhir, aksi warga yang tergabung dalam Triga Lampung menggema dari kampung-kampung hingga Jakarta. Mereka mendatangi kantor pemerintahan daerah, DPR RI, kementerian, bahkan Istana. Tuntutannya sederhana tapi tegas: ukur ulang HGU PT SGC secara transparan, libatkan masyarakat, kembalikan tanah yang bukan hak perusahaan, dan pastikan izin usaha tidak merusak lingkungan.

“Perjuangan ukur ulang ini pada dasarnya menjaga tanah agar tetap milik rakyat, menjaga air agar tetap mengalir, dan menjaga hutan kecil agar tetap hidup,” kata Sudirman Dewa dari Koalisi Rakyat Madani.

Namun perjuangan ini tidak berjalan mudah. Perusahaan perkebunan besar sering digambarkan sebagai penyumbang devisa dan penyerap tenaga kerja. Pertanyaannya, apakah angka ekonomi itu sebanding dengan kerugian ekologis yang ditanggung masyarakat?

“Yang ditonjolkan selalu angka-angka ekonomi. Tapi jarang dihitung kerugian ekologisnya. Kalau tanah rusak, air hilang, masyarakat sakit-sakitan, siapa yang menanggung biayanya?” ujar Sudirman geram.

Kini, perjuangan masyarakat Lampung bukan lagi sekadar isu lokal. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan agraria sekaligus peringatan bahwa pembangunan tak boleh menelan hak rakyat. Di Lampung, tanah bukan sekadar ruang kosong. Ia adalah kehidupan, budaya, dan warisan untuk anak cucu.

“Tanah ini milik kita semua. Kalau kita diam, siapa lagi yang akan menjaganya?” kata Indra Musta’in, suaranya bergetar saat diwawancara.

Hamparan tebu di jalan Trans Sumatra itu mungkin masih akan berdiri tegak bertahun-tahun ke depan. Tapi di sela-selanya, suara perlawanan rakyat Lampung terus tumbuh, seperti tunas muda yang mencari cahaya di tengah rimbun batang tebu. (*)

 

Penulis : Pejuangan Menebas Tebu yang “Dilindungi”

Berita Terkait

Pemprov Lampung dan Kejati Bersinergi
DPR RI Dukung Fakultas Kedokteran UIN RIL, Anggaran KIP Kuliah Diperjuangkan
Rektor UIN RIL Soroti Regulasi Kemenag yang Batasi Akselerasi Kampus
Komisi VIII DPR RI Dorong Pembukaan Fakultas Kedokteran UIN RIL  
Dua Kasus Korupsi Mandek, Kinerja Kejati Lampung Dipertanyakan  
Kuasa Hukum Korban KDRT Minta Polisi Jemput Paksa Tersangka
Lampung Targetkan Pelebaran Jalan Wisata dan Bantu Perbaikan Jalan Desa
Anggaran Terbatas, Pemprov Lampung Prioritaskan Jalan Berdampak Ekonomi

Berita Terkait

Senin, 29 September 2025 - 08:17 WIB

Perjuangan Menebas Tebu yang “Dilindungi”

Sabtu, 27 September 2025 - 00:10 WIB

Pemprov Lampung dan Kejati Bersinergi

Jumat, 26 September 2025 - 23:57 WIB

DPR RI Dukung Fakultas Kedokteran UIN RIL, Anggaran KIP Kuliah Diperjuangkan

Jumat, 26 September 2025 - 22:57 WIB

Rektor UIN RIL Soroti Regulasi Kemenag yang Batasi Akselerasi Kampus

Jumat, 26 September 2025 - 22:28 WIB

Dua Kasus Korupsi Mandek, Kinerja Kejati Lampung Dipertanyakan  

Berita Terbaru

Lampung

Perjuangan Menebas Tebu yang “Dilindungi”

Senin, 29 Sep 2025 - 08:17 WIB

Perspektif

Republik Ini Memang Dibuat ‘Miskin’ Inovasi?

Sabtu, 27 Sep 2025 - 14:24 WIB

Lampung

Pemprov Lampung dan Kejati Bersinergi

Sabtu, 27 Sep 2025 - 00:10 WIB