Patah Tumbuh, Hilang Berganti: Kisah Perjuangan Meraih Beasiswa

- Editor

Rabu, 24 September 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Patah Tumbuh, Hilang Berganti: Kisah Perjuangan Meraih Beasiswa

Patah Tumbuh, Hilang Berganti: Kisah Perjuangan Meraih Beasiswa

Ditulis oleh: Satria Adi Pradana, Dosen UIN RIL / Mahasiswa Doktoral University of Queensland, Australia

Pramoedya.id: “Perjalanan ini adalah pertarungan. Pertarungan melawan peluang sempit, rintangan panjang, dan keraguan dalam diri sendiri. Bukan hanya soal nilai tinggi atau segudang prestasi, tapi tentang ketangguhan, air mata, dan pengorbanan.”

Meninggalkan keluarga, kenyamanan, dan impian hidup sederhana demi sebuah kesempatan yang lebih besar, adalah harga yang harus dibayar untuk memenangkan beasiswa internasional. Perjuangan ini bukan hanya tentang belajar keras; ia adalah perjalanan ketangguhan, air mata, dan pengorbanan yang perlahan membentuk siapa dirimu.

Jalan yang Melelahkan

Tahun 2019 menjadi titik awal perjuangan saya. Dengan penuh harap, saya mendaftar Beasiswa 5000 Doktor dari Kementerian Agama (MORA). Namun, hasilnya jauh dari yang diimpikan. Nama saya tidak ada dalam daftar penerima.
Rasanya perih. Luka bukan hanya karena gagal, tapi juga karena komentar sinis sebagian orang yang menganggap mimpi itu sudah tenggelam. Untungnya, ada pula teman-teman yang terus menyemangati, mengingatkan bahwa kegagalan bukan akhir.

Mengincar beasiswa berarti siap menghadapi medan berat. Mulai dari ujian TOEFL atau IELTS yang menguras dompet, pikiran, dan energi, hingga menyusun CV, surat motivasi, dan surat rekomendasi yang sering kali direvisi berkali-kali. Belum lagi wawancara yang menuntut kejujuran—membuka seluruh mimpi, ketakutan, dan semangat di hadapan pewawancara. Penolakan datang berkali-kali, tapi justru di sanalah saya belajar arti sesungguhnya dari pepatah: “patah satu, tumbuh seribu.”

Harga dari Sebuah Mimpi

Untuk mengejar mimpi, ada banyak yang harus dilepaskan: waktu bersama keluarga, hobi, bahkan tawaran pekerjaan. Ada yang harus menunda pernikahan, ada yang rela bekerja tanpa bayaran, ada pula yang menghabiskan seluruh tabungan. Bagi keluarga sederhana, perjuangan ini bisa berarti menjual tanah atau bekerja lembur. Dan meski akhirnya beasiswa diraih, tantangan baru menanti di tanah rantau—biaya hidup, kesepian, benturan budaya, hingga musim dingin yang menusuk tulang.

Perjuangan itu akhirnya berbuah. Tahun 2023, saya resmi menerima Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) MORA. Jalan menuju ke sana panjang: kursus bahasa di Pare, pembekalan studi lanjut di Yogyakarta, hingga program persiapan akademik di Malang. Semua itu mengantarkan saya ke The University of Queensland, Australia pada 2024.
Kini, saya belajar hidup jauh dari rumah. Menjadi lebih mandiri, memasak sendiri, mengatur keuangan, hingga belajar menghadapi kesepian. Semua tantangan itu ternyata melatih ketangguhan, sekaligus menumbuhkan rasa syukur.

Menjadi Lebih dari Sekadar Gelar

Saya bukan satu-satunya pejuang. Ada yang gagal berkali-kali sebelum akhirnya berhasil. Ada yang menukar hidup sederhana dengan gelar master, bekerja sambil belajar, dan pulang membawa perubahan. Ada pula yang rela melepas pekerjaan tetap demi menjemput masa depan di luar negeri. Kisah mereka memberi inspirasi: bahwa latar belakang tidak pernah menjadi penghalang, dan kegagalan bukanlah titik akhir.

Beasiswa bukan hanya tentang meraih ijazah. Ia adalah perjalanan menjadi pribadi yang lebih kuat, bijaksana, dan peduli. Pengorbanan melahirkan empati, perjuangan menumbuhkan kekuatan. Bagi para pejuang mimpi, ingatlah: perjalanan ini tidak mudah, tapi layak untuk dijalani. Mulailah dari langkah kecil, cari dukungan, dan jangan lupa alasan mengapa kamu memulai. Karena pada akhirnya, mimpi yang diperjuangkan dengan sepenuh hati akan memberi dampak—bukan hanya untuk dirimu, tapi juga untuk masyarakat dan bangsa. (*)

Berita Terkait

Republik di Atas Meja Negosiasi: Siapa Menjual, Siapa Membeli Keadilan?
Mengapa Kita Perlu ‘Gaya’ Kang Dedy?
Robusta, Kafein, dan Revolusi Senyap di Lampung
Wasiat Soemitro dan Silat Gelap Zaman  
Menggugat Taji Progresif Kejati Lampung
Rahmah El Yunusiyyah Sang Perobek Tradisi Al-Azhar dari Padang Panjang
Cahaya dari Kamboja
PKC PMII Lampung “Serampangan”, PB Wajib Karateker

Berita Terkait

Rabu, 10 Desember 2025 - 20:41 WIB

Republik di Atas Meja Negosiasi: Siapa Menjual, Siapa Membeli Keadilan?

Kamis, 4 Desember 2025 - 22:14 WIB

Mengapa Kita Perlu ‘Gaya’ Kang Dedy?

Selasa, 25 November 2025 - 19:39 WIB

Robusta, Kafein, dan Revolusi Senyap di Lampung

Senin, 17 November 2025 - 09:04 WIB

Wasiat Soemitro dan Silat Gelap Zaman  

Kamis, 13 November 2025 - 19:20 WIB

Menggugat Taji Progresif Kejati Lampung

Berita Terbaru

Lampung

Jembatan Way Kali Nurik Ambruk, BMBK Lampung Gercep Tangani

Kamis, 11 Des 2025 - 18:50 WIB

Lampung

BMBK Lampung Catat 52 Ruas Jalan Rampung Diperbaiki

Kamis, 11 Des 2025 - 18:48 WIB