Paradoks Nikel Indonesia: Ekonomi Hijau Berjejak Karbon Hitam

- Editor

Kamis, 19 Juni 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto: Ilustrasi

Foto: Ilustrasi

Oleh: Peksyaji Karto Prawiro (Wakil Ketua I Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Depok)

Indonesia hari ini berdiri di persimpangan sejarah. Di satu sisi, negara ini tengah menegaskan diri sebagai raksasa industri nikel dunia. Terindikasi dengan logam vital yang diburu demi transisi global menuju energi bersih lewat kendaraan listrik. Tapi di sisi lain, keberhasilan itu mengandung ironi dengan semakin banyaknya nikel diproduksi, namun menyebabkan luka lingkungan yang dalam.

Pramoedya.id: Dalam euforia ekonomi hijau, Indonesia justru mempercepat emisi karbon, merusak hutan tropis, dan mencemari air demi memenuhi hasrat pasar global. Ini bukan sekadar dilema moral, ini adalah paradoks ekologis.

Pondasi yang Rapuh

Pembangunan berbasis industri nikel kita berjalan di atas fondasi yang rapuh. Sejumlah studi ilmiah menegaskan bahwa aktivitas tambang dan peleburan nikel menyisakan dampak ekologis yang signifikan. Di balik jargon hilirisasi dan industrialisasi, ada kenyataan pahit, hutan yang gundul, sungai yang tercemar, dan emisi karbon yang terus membubung. Semua menggerogoti komitmen kita terhadap keberlanjutan.

Hutan Tropis yang Dikorbankan

Deforestasi menjadi wajah paling kasat mata dari ekspansi industri nikel. Di Sulawesi, pusat tambang nikel nasional, tingkat kehilangan tutupan hutan di desa-desa tambang meningkat hampir dua kali lipat antara 2011 dan 2018. Ini bukan cuma soal hilangnya pohon, tapi punahnya ekosistem yang menopang keanekaragaman hayati tropis dan keseimbangan ekologis.

Transformasi lahan akibat tambang jauh lebih masif dari dugaan sebelumnya. Jejak industri nikel kini mendominasi lanskap di berbagai wilayah, menggusur praktik hidup tradisional masyarakat lokal.

Yang lebih menyedihkan, semua ini bukan takdir, melainkan hasil dari keputusan kebijakan yang abai terhadap daya dukung lingkungan. Kemudian, lonjakan produksi nikel berbanding lurus dengan degradasi habitat dan peningkatan ancaman terhadap flora-fauna lokal.

Sungai yang Tercemar, Hidup yang Terkorbankan

Kalau hutan adalah paru-paru bumi, maka sungai adalah nadinya. Tapi alih-alih mengalirkan kehidupan, sungai di sekitar tambang kini mengalirkan racun.

Pencemaran Sungai Wanggu di Kendari juga menjadi sorotan akibat pembangunan permukiman penunjang tambang. Dampaknya menjalar hingga ke hutan bakau. Proses peleburan nikel melepaskan zat-zat polutan ke tanah dan air, merusak ekosistem sekaligus mengancam kesehatan manusia.

Kontaminasi air akibat aktivitas ini bisa memicu gangguan kesehatan jangka panjang, seperti kerusakan ginjal dan sistem saraf. Ini bukan cuma soal lingkungan, tapi soal hak hidup warga yang tinggal di sekitar tambang.

Ironisnya, di tengah kampanye energi hijau global, rakyat Indonesia justru menjadi korban. Mereka menanggung risiko kesehatan demi baterai mobil listrik yang mengaspal di negara-negara maju. Ini adalah ketimpangan ekologis yang brutal.

Emisi Karbon: Jejak Hitam di Tengah Transisi Hijau

Alih-alih mengurangi emisi, industri nikel justru memperparahnya. Sebagian besar smelter di Indonesia masih bergantung pada PLTU batu bara (penyumbang emisi CO₂ terbesar). Setiap ton nikel yang dihasilkan menambah panas di planet ini.

Padahal, alternatif lebih ramah lingkungan tersedia. Beralih ke biomassa atau tenaga hidroelektrik bisa menekan emisi hingga 96%. Tapi demi efisiensi jangka pendek, industri dan pemerintah memilih tetap membakar batu bara. Ini adalah kegagalan dalam berpikir jangka panjang.

Udara Kotor, Tanah Tercemar

Dampak industri nikel bukan cuma terlihat di hutan dan sungai, tapi juga terasa di udara yang kita hirup dan tanah yang kita pijak. Kontaminasi udara dari peleburan logam telah menyebabkan gangguan pernapasan di kawasan industri. Tanah pun terpapar limbah, menurunkan produktivitas pertanian lokal.

Di dekat Taman Baluran, pembangunan smelter merusak ekosistem agrikultur dan perikanan. Petani gagal panen, nelayan kehilangan tangkapan. Pertanyaannya, apa gunanya logam untuk kendaraan masa depan, kalau tanah kita tak lagi menumbuhkan pangan?

Waktunya Mengubah Arah

Saya tidak mengusulkan pelarangan total industri nikel. Kita butuh nikel untuk masa depan energi. Tapi yang mendesak adalah perubahan paradigma. Saat ini, pembangunan kita terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, sambil menutup mata pada krisis ekologis yang ditimbulkannya.

Semua studi yang saya kutip menyarankan hal yang sama, perlunya strategi mitigasi dan pengelolaan yang berkelanjutan. Tapi sejauh ini, komitmen nyata dari pemerintah dan pelaku industri masih sebatas jargon hijau tanpa makna.

Kita butuh lebih dari itu. Transparansi dalam penilaian dampak lingkungan, pelibatan masyarakat lokal, dan keberpihakan terhadap keadilan ekologis harus menjadi syarat mutlak setiap kebijakan.

Dari Sumber Daya ke Sumber Derita?

Indonesia punya posisi strategis dalam peta energi dunia. Tapi pertanyaannya, apakah kita ingin dikenang sebagai bangsa yang menyuplai dunia dengan logam hijau sambil menghancurkan tanah airnya sendiri?

Atau kita ingin dikenang sebagai bangsa yang mampu membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi bisa sejalan dengan keberlanjutan ekologis?

Hari ini, pilihan itu ada di tangan kita. Jika kita terus membiarkan industri nikel beroperasi secara eksploitatif, kita sedang menyiapkan masa depan yang bertolak belakang dari cita-cita energi bersih. Paradoks ini harus kita akhiri dengan berani membalik arah. Dari eksploitasi menuju regenerasi, dari karbon menuju kehijauan, dari retorika menuju tindakan nyata.(*)

Berita Terkait

Etika Diliburkan, Jabatan dilipatgandakan
Anggaran untuk Tenaga Pendamping adalah Investasi, Bukan Pemborosan
Agromining sebagai Solusi, Panen Logam Tanpa Menambang
Soal Nikel Indonesia Perlu Contoh Finlandia dan Kanada
Sun Tzu di Perbatasan Persia: 100 Hari Menuju Kemenangan
Sumpah Air dan Besi
Ironi Tata Kelola Tambang Nikel: Janji Hijau di Atas Lumpur Kebijakan
Hilirisasi Nikel: Antara Kebanggaan Nasional dan Tantangan Global

Berita Terkait

Sabtu, 19 Juli 2025 - 22:55 WIB

Etika Diliburkan, Jabatan dilipatgandakan

Rabu, 2 Juli 2025 - 17:21 WIB

Anggaran untuk Tenaga Pendamping adalah Investasi, Bukan Pemborosan

Selasa, 24 Juni 2025 - 13:59 WIB

Agromining sebagai Solusi, Panen Logam Tanpa Menambang

Senin, 23 Juni 2025 - 20:10 WIB

Soal Nikel Indonesia Perlu Contoh Finlandia dan Kanada

Sabtu, 21 Juni 2025 - 21:46 WIB

Sun Tzu di Perbatasan Persia: 100 Hari Menuju Kemenangan

Berita Terbaru

Pendidikan

UIN Lampung Jalin Kerja Sama Double Degree dengan Mesir

Rabu, 23 Jul 2025 - 20:08 WIB

Foto: Ilustrasi

Perspektif

Perselingkuhan Pemda Lamteng: Janji Pahit di Tengah Kebun Tebu

Rabu, 23 Jul 2025 - 11:26 WIB

Pendidikan

Gubernur Lampung: UIN Raden Intan Motor Peradaban Daerah

Selasa, 22 Jul 2025 - 21:23 WIB

Lampung

BRI Perkuat Koperasi Desa Merah Putih, Dorong Ekonomi Lokal

Selasa, 22 Jul 2025 - 15:21 WIB