Persoalan harga singkong tak kunjung selesai. Di Lampung, sang raja ubi kayu, petani hanya bisa gigit jari saat harga amblas dan pabrik menentukan nasib mereka.
Pramoedya.id: Pemerintah Provinsi Lampung bersama Panitia Khusus (Pansus) Tata Niaga Singkong DPRD setempat akhirnya angkat tangan. Mereka mendesak pemerintah pusat segera turun tangan menuntaskan konflik harga dan tata niaga ubi kayu yang kian memojokkan petani.
Desakan itu disampaikan dalam rapat daring terbatas dengan sejumlah kementerian, Selasa, 29 April 2025. Ketua Pansus, Mikdar Ilyas, menyebut dua hal yang tak bisa diputuskan di daerah yakni standar harga dan kadar aci singkong.
“Selama dua masalah ini tak diselesaikan Kementerian, petani dan pabrik tak akan pernah sepakat. Daerah tak punya kewenangan menetapkan harga nasional,” kata Mikdar seusai rapat, Rabu (30/4/2025).
Sejak awal April, harga singkong di Lampung anjlok hingga Rp1.100 per kilogram, dengan potongan kadar air (rafaksi) yang mencapai 30 hingga 38 persen. Artinya, petani hanya menerima Rp400–Rp500 per kilogram, jauh dari harga pokok produksi.
Padahal, pada 31 Januari lalu, petani dan pelaku industri telah menyepakati harga Rp1.350 per kilogram dengan potongan maksimal 15 persen. Kesepakatan yang belakangan dilanggar sepihak oleh industri, kata Mikdar.
Menurutnya, pabrik menolak harga tinggi karena hasil produksinya tak mampu bersaing dengan tepung tapioka impor maupun dari provinsi lain.
“Kalau harga tidak rasional, pabrik memilih berhenti produksi. Akibatnya, Lampung yang menyumbang 70 persen produksi tapioka nasional, justru tak laku,” tambahnya.
Dalam rapat yang dihadiri para deputi dan direktur dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Bappenas, hingga Badan Ketahanan Pangan Nasional, Pemprov Lampung menuntut kepastian dalam dua-tiga hari ke depan.
“Kalau pemerintah pusat menetapkan harga, pabrik akan mengikuti. Tapi selama diserahkan ke mekanisme pasar, petani selalu jadi korban,” kata Mikdar, yang juga politisi Partai Gerindra.
Sementara itu, Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal, menyoroti bahwa ketimpangan harga ini tidak lepas dari struktur industri yang oligopolistik. Selama puluhan tahun, industri singkong di Lampung didominasi produsen besar yang mengolahnya menjadi tepung tapioka.
“Karena hanya segelintir pabrik, mereka bisa atur harga sesuka hati. Petani tak punya pilihan lain,” kata Rahmat.
Lampung masih memimpin produksi ubi kayu nasional, menyumbang 39 persen dari total produksi Indonesia. Tahun lalu, Lampung menghasilkan lebih dari 6,7 juta ton singkong, dengan Lampung Tengah sebagai lumbung terbesarnya. Namun, nilai tambah yang dirasakan petani nyaris tak berubah sejak puluhan tahun lalu.
Merespons krisis harga ini, Pemprov Lampung mulai membangun strategi hilirisasi di tingkat desa.
“Kami dorong industri turun ke desa agar nilai tambah bisa langsung dinikmati petani. Hilirisasi bukan hanya meningkatkan daya saing, tapi juga menstabilkan harga,” kata Rahmat.
Hilirisasi singkong juga sejalan dengan Asta Cita kelima pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka: pengembangan industri berbasis sumber daya alam. Singkong, menurut Rahmat, bukan hanya bisa jadi tepung tapioka, tapi juga bahan baku bioetanol.
“Kalau kita serius, singkong bisa jadi bahan bakar minyak. Ini peluang menuju energi hijau dan kemandirian nasional,” tutupnya. (*)