Ditulis Oleh: Dr. Romdloni, M.Pd.I (Dosen Universitas Nurul Huda)
Pramoedya.id: Isu moderasi beragama dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu agenda penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah melalui Kementerian Agama telah mengarusutamakan moderasi beragama sebagai pilar penguatan harmoni sosial, terutama di tengah masyarakat yang majemuk. Perguruan tinggi, sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan sekaligus kawah candradimuka calon pemimpin bangsa, memiliki peran yang sangat strategis dalam menginternalisasikan nilai-nilai moderasi beragama.
Perguruan Tinggi dan Pluralitas
Perguruan tinggi merupakan miniatur Indonesia. Mahasiswa dari berbagai latar belakang agama, suku, budaya, bahkan pandangan politik bertemu dalam satu ruang interaksi akademik. Keanekaragaman ini ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi menjadi kekayaan intelektual dan sosial, namun di sisi lain berpotensi menimbulkan gesekan apabila tidak dikelola dengan baik.
Karena itu, moderasi beragama hadir sebagai jembatan. Moderasi tidak dimaknai sebagai pelemahan ajaran agama atau relativisme nilai, melainkan upaya menempatkan agama dalam ruang keseimbangan: tidak ekstrem kanan yang cenderung eksklusif, juga tidak ekstrem kiri yang abai terhadap nilai-nilai agama.
Empat Indikator Moderasi Beragama
Menurut Kementerian Agama, terdapat empat indikator moderasi beragama yang bisa ditumbuhkan di lingkungan perguruan tinggi, yaitu:
Komitmen kebangsaan-mahasiswa didorong memahami dan menjaga nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Toleransi-tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan keyakinan, ekspresi keagamaan, maupun budaya.
Anti kekerasan-menolak segala bentuk radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama.
Akomodatif terhadap budaya lokal-menghargai kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan nilai agama.
Keempat indikator ini bukan sekadar jargon, tetapi harus diimplementasikan dalam proses pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat di perguruan tinggi.
Peran Perguruan Tinggi
Pertama, melalui kurikulum, kampus dapat memasukkan mata kuliah atau modul yang menanamkan nilai toleransi, pluralisme, dan resolusi konflik berbasis agama. Kedua, melalui kegiatan kemahasiswaan, organisasi intra maupun ekstra kampus diarahkan menjadi ruang dialog lintas iman, bukan justru melahirkan eksklusivisme. Ketiga, melalui budaya akademik, dosen dan peneliti dapat menghadirkan karya ilmiah yang mengedepankan perspektif moderat dalam melihat fenomena keagamaan.
Selain itu, perguruan tinggi perlu membangun atmosfer inklusif yang memfasilitasi mahasiswa dari berbagai latar belakang untuk berkolaborasi. Diskusi lintas agama, seminar kebangsaan, hingga pengabdian masyarakat bersama dapat menjadi sarana praktis internalisasi moderasi beragama.
Tantangan dan Harapan
Meski demikian, tantangan tetap ada. Di era digital, arus informasi yang masif kerap menjadi saluran masuknya paham radikal ke kalangan mahasiswa. Perguruan tinggi tidak boleh lengah. Literasi digital, penguatan pemahaman keagamaan yang komprehensif, serta keteladanan para akademisi menjadi kunci menghadapi tantangan ini.
Moderasi beragama di perguruan tinggi bukanlah proyek jangka pendek, melainkan investasi panjang untuk masa depan Indonesia. Dengan kampus yang menumbuhkan semangat kebersamaan, toleransi, dan cinta tanah air, maka lahirlah generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial.
Akhirnya, moderasi beragama di lingkungan perguruan tinggi adalah jalan tengah menuju masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera. Di tangan mahasiswa yang moderat, masa depan bangsa akan lebih cerah. (*)