Korban Nyata dan Tindakan Klise Pelindo

- Editor

Rabu, 23 April 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Banjir di Bandar Lampung, tepatnya di Panjang Utara, bukanlah cerita baru. Kota ini sudah lama terbiasa dengan genangan air setiap kali hujan deras. Namun, apa yang terjadi kali ini membawa nada yang lebih serius. Banjir ini bukan cuma soal aliran air yang terganggu, tapi soal apa yang dibangun dan siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan. Dalam hal ini, PT Pelindo II Regional Panjang, dengan angkuh menutup jalur air demi pembangunan yang lebih ‘indah’. Pelindo menunjukkan bahwa mereka lebih mengutamakan estetika dibandingkan keselamatan jiwa.

Mungkin bagi PT Pelindo, yang berfokus pada pembangunan kawasan pelabuhan dan properti komersial, drainase hanyalah detail kecil yang bisa dipinggirkan. Namun, bagi warga sekitar, penutupan saluran air itu bukan sekadar gangguan kecil. Itu adalah penyebab langsung dari bencana yang menelan tiga korban jiwa pada 21 April 2025. Ketika air tidak bisa mengalir dengan lancar, ia akan mencari jalan keluar—dan jalan itu, sayangnya, adalah melalui rumah-rumah warga yang sudah terlanjur terjebak dalam lingkaran buruk pembangunan yang tidak memperhitungkan dampak sosial dan lingkungan.

Wali Kota Eva Dwiana dengan tegas menyatakan bahwa penutupan jalan air oleh Pelindo adalah penyebab utama banjir tersebut. Namun, seperti yang sering terjadi pada perusahaan besar, respons yang datang bukanlah solusi konkret, melainkan janji-janji kosong. Junior Manager Fasilitas PT Pelindo Cabang Panjang, Lingga, mengungkapkan bahwa perbaikan sudah dalam proses, namun tidak bisa memastikan kapan semuanya akan selesai. Kalimat seperti “kami sedang proses benahi” terdengar familiar, seperti jawaban klise yang keluar setiap kali ada bencana akibat kelalaian korporasi besar. Lantas, bagaimana jika perbaikan itu terlambat datang? Apakah harus menunggu lagi sampai ada korban berikutnya?

Apa yang seharusnya menjadi perhatian di sini adalah kenyataan bahwa bencana ini bukanlah suatu kecelakaan yang tidak terduga. Ini adalah hasil dari kelalaian dalam merencanakan dan membangun infrastruktur. Mengapa ada perubahan yang begitu besar dalam sistem drainase tanpa kajian yang memadai? Mengapa perubahan tersebut dilakukan tanpa melibatkan pemerintah daerah dalam diskusi yang matang tentang dampaknya terhadap lingkungan sekitar? Jawabannya jelas: karena keuntungan jangka pendek dari pembangunan yang lebih ‘modern’ dan ‘menarik’ lebih diutamakan daripada keberlanjutan lingkungan dan keselamatan warga.

Tentu, pelajaran ini tidak hanya berlaku bagi PT Pelindo. Ini adalah cermin bagi setiap perusahaan besar yang merasa bisa melangkah lebih tinggi tanpa melihat kembali ke bawah, ke tanah yang mereka pijak, dan ke masyarakat yang mereka anggap remeh. Tidak ada pembangunan yang bisa dianggap sukses jika mengorbankan lingkungan hidup dan nyawa manusia. Dalam konteks ini, pembangunan yang dilakukan oleh Pelindo telah gagal total, bukan hanya dalam hal pengelolaan drainase, tapi juga dalam mengelola tanggung jawab sosial mereka.

Masyarakat Bandar Lampung berhak menuntut lebih dari sekadar janji kosong. Tuntutan agar pemerintah memberikan sanksi tegas kepada Pelindo adalah langkah yang tidak hanya logis, tapi juga penting. Pemerintah, dalam hal ini, harus berdiri tegak untuk menegakkan hukum dan melindungi warganya. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan landasan hukum yang jelas untuk menuntut pertanggungjawaban dari Pelindo. Jika pemerintah gagal bertindak, maka apa artinya hukum di negeri ini?

Mungkin, di mata banyak pihak, PT Pelindo adalah perusahaan besar yang sangat berkuasa. Namun, kita harus ingat, kekuasaan bukan berarti kebal dari tanggung jawab. Jika pemerintah terus membiarkan Pelindo bebas dari sanksi, maka mereka sedang memberi contoh buruk kepada seluruh perusahaan di Indonesia. Bahwa mereka bisa merusak lingkungan, merenggut nyawa warga, dan tetap aman dari konsekuensi.

Apa yang terjadi di Panjang adalah bagian dari pola yang lebih besar: di mana pembangunan seringkali mengabaikan aspek lingkungan, dan nyawa manusia dianggap sebagai statistik yang bisa dikesampingkan. Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah tegas, bukan hanya untuk memperbaiki sistem drainase yang ditutup oleh Pelindo, tapi juga untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kebijakan pembangunan yang melibatkan pengorbanan terhadap lingkungan dan masyarakat.

Akhirnya, kita semua harus berpikir, apakah kita ingin terus hidup dalam kota yang nyaman bagi proyek-proyek besar, namun berisiko tenggelam di bawah air setiap kali hujan datang? Atau apakah kita ingin kota yang berkembang dengan memperhatikan keberlanjutan, yang tidak mengabaikan nyawa warganya demi taman atau gedung pencakar langit?

Krisis ini bisa menjadi titik balik. Ini adalah momen untuk menunjukkan bahwa pembangunan tidak boleh terjadi di atas penderitaan rakyat. Jika Pelindo II tidak segera memperbaiki sistem drainase yang telah mereka rusak, maka mereka harus siap menghadapi konsekuensi hukum. Tidak ada kompromi untuk kelalaian yang merenggut nyawa—karena air yang disumbat bisa kembali membanjiri, dan kali ini, bukan hanya jalanan yang akan terendam.(*)

Berita Terkait

Prabowo Hapus Kuota Impor, Gebrakan atau Ancaman?
Indonesia-Palestina: Ketika Omon-omon Mengusir Ingatan Sejarah
Jumbo dan Mimpi Indonesia untuk Tidak Sekadar Jadi Penonton
Deforestasi dengan Dalih Masa Depan Hijau: Sebuah Ironi di Papua
Sekolah Rakyat: Kelas Sosial di Ruang Kelas
SMK: Jalan Pintas ke Dunia Kerja atau Jalan Buntu?
Malang dan Ingatan yang Tak Pernah Sembuh
Kuliah untuk DPR: Mundur ke Era yang Kita Kubur

Berita Terkait

Rabu, 23 April 2025 - 14:58 WIB

Korban Nyata dan Tindakan Klise Pelindo

Sabtu, 19 April 2025 - 12:56 WIB

Prabowo Hapus Kuota Impor, Gebrakan atau Ancaman?

Minggu, 13 April 2025 - 19:10 WIB

Indonesia-Palestina: Ketika Omon-omon Mengusir Ingatan Sejarah

Sabtu, 12 April 2025 - 19:01 WIB

Jumbo dan Mimpi Indonesia untuk Tidak Sekadar Jadi Penonton

Rabu, 9 April 2025 - 23:28 WIB

Deforestasi dengan Dalih Masa Depan Hijau: Sebuah Ironi di Papua

Berita Terbaru

Ketua PMII Bandar Lampung, Dapid Novian Mastur, ketika menyampaikan sambutan. Foto: Luki

Bandarlampung

PMII Balam Siapkan Pemimpin Muda untuk Bangun Daerah Lewat PKL

Rabu, 23 Apr 2025 - 23:17 WIB

Foto: ilustrasi

Perspektif

Korban Nyata dan Tindakan Klise Pelindo

Rabu, 23 Apr 2025 - 14:58 WIB