Tidak ada yang lebih nikmat dalam sepak bola selain melihat klub medioker menampar tim yang lagi gacor-gacornya. Itulah yang terjadi di MetLife Stadium, New Jersey, Senin (14/7/2025).
Pramoedya.id: Chelsea, tim yang sepanjang musim lalu disebut “proyek gagal nan mahal”, malah membuat PSG terlihat seperti kontestan dadakan dari Liga Komunitas Antar-Kecamatan.
Skor akhir 3-0. Tanpa balas. Tanpa belas kasihan. Dan dengan gaya yang sangat “nggak Chelsea” versi tahun lalu.
Dua gol dari Cole Palmer dan satu tambahan dari João Pedro mencerminkan taktik, kesabaran, dan eksekusi bisa mengubur segala hype, branding, dan gelar yang menempel di seragam PSG.
Chelsea Main Seperti Punya Urusan Pribadi
Enzo Maresca tidak banyak omong. Ia cukup merancang timnya jadi pasukan pemburu kesalahan. PSG, yang datang dengan medali Liga Champions dan ego setinggi menara Eiffel, justru jadi korban dari sepak bola vertikal, sadis, dan efisien.
Gol pertama lahir dari tekanan beruntun Gusto yang bikin Nuno Mendes salah umpan. Palmer tinggal ngelip golnya. Delapan menit kemudian, Palmer bikin gol kedua yang nyaris sama. PSG? Masih sibuk pasing-pasing tanpa progresi.
Juara Liga Champions Main Seperti Klub Veteran Tarkam
PSG bukan cuma kalah. Mereka kehilangan arah. Kolo Muani bingung mau lari ke mana. Vitinha ditelan gelombang pressing. Dan puncaknya, João Neves yang entah karena panik atau karena Chelsea terlalu disiplin, narik rambut Cucurella kayak anak kecil rebutan mainan di lapangan TK. Kartu merah keluar. Simbol kekalahan mental. Di momen ini, kita tahu: PSG cuma figuran.
Chelsea Tanpa Beban, Makin Sadis Saat Diremehkan
Yang lucu, Chelsea datang ke turnamen ini tanpa tekanan. Musim lalu? Ya ampun, udah kayak sinetron horor. Tapi justru dari reruntuhan itulah Chelsea membangun ulang identitasnya: bukan tim bintang, tapi tim kerja. Dan saat klub kerja keras ketemu klub kerja citra, hasilnya bisa ditebak: pesta gol tanpa kompromi.
Cole Palmer bukan cuma bikin dua gol, tapi bikin semua kamera pindah sorot. Pemain terbaik turnamen, dan kayaknya juga kandidat perusak mood paling sukses di ruang ganti PSG.
Sepak Bola Menolak Narasi Besar
Sepak bola kadang seperti puisi jalanan: tidak bisa diprediksi, tidak tunduk pada kapital, dan punya selera humor yang kejam. PSG boleh menang Liga Champions, tapi Chelsea-lah yang menang hati malam itu.
Bukan karena mereka lebih bagus di atas kertas, tapi karena mereka tahu: sepak bola yang paling ampuh adalah yang dimainkan dengan kepala dingin, kaki cepat, dan ego kecil.
Selamat datang di era Maresca. Dan selamat jalan PSG. Kita doakan semoga rambut Cucurella bisa tumbuh lagi.(*)