Oleh: Muhammad Kamal, Presiden Mahasiswa Universitas Malahayati (Unmal)
Pramoedya.id: Rencana pembangunan kereta gantung oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung menjadi ironi dalam konteks pembangunan kota yang berkeadilan. Di atas kertas, proyek ini terdengar futuristik, transportasi modern, daya tarik wisata, bahkan simbol kemajuan kota.
Namun, ketika kita letakkan gagasan ini di tengah realitas sosial-ekonomi warga Bandar Lampung, proyek ini justru tampak seperti kilau kaca yang menutupi dinding retak.
Pembangunan atau Ilusi?
Pembangunan seharusnya menjawab masalah, bukan menciptakan ilusi. Sayangnya, kereta gantung ini tampak lebih sebagai proyek prestisius ketimbang solusi strategis.
Di tengah kota yang masih berjibaku dengan kemacetan kronis, sistem drainase yang buruk, hingga rendahnya akses warga miskin terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, pilihan untuk membangun kereta gantung terasa tak relevan.
Pembangunan yang Tidak Inklusif
Infrastruktur semestinya inklusif dibangun dengan mempertimbangkan siapa yang paling membutuhkan, bukan siapa yang paling bisa membayar. Pembangunan yang baik tidak diukur dari megahnya proyek, melainkan dari seberapa besar ia menjawab ketimpangan.
Saat warga masih antre air bersih, hidup di kawasan tanpa sanitasi layak, atau bersekolah di bangunan semi permanen, masih merasakan banjir, maka proyek seperti kereta gantung adalah cermin dari pembangunan yang gagal mengenali urgensinya sendiri.
Alternatif dan Jalan Tengah
Bandar Lampung tidak kekurangan potensi, tapi kekurangan keberpihakan dalam prioritas anggaran. Daripada membangun kereta gantung, mengapa tidak memperkuat transportasi publik konvensional? Mengapa tidak menyelesaikan dahulu persoalan banjir dan sampah, atau menata ulang kawasan kumuh menjadi permukiman sehat?
Pemerintah kota seharusnya mendahulukan program-program yang langsung menyentuh keseharian rakyat, bukan memburu proyek yang hanya menambah daftar panjang pembangunan simbolik.
Mahasiswa dan Publik Harus Mengawal
Sebagai mahasiswa, kami bukan anti pembangunan. Tapi kami menolak pembangunan yang kehilangan orientasi sosialnya. Kami tidak ingin Bandar Lampung menjadi kota penuh proyek, tapi kosong dari keadilan.
Sudah saatnya masyarakat, khususnya kaum muda dan mahasiswa, membuka ruang diskusi dan kontrol atas kebijakan publik. Pembangunan tidak boleh menjadi wilayah eksklusif elit pemerintahan. Ia harus dikembalikan ke tangan rakyat sebagai subjek, bukan objek.
Bandar Lampung tidak butuh kereta gantung, yang dibutuhkan adalah keberanian untuk membangun kota dengan keberpihakan, keberlanjutan, dan kejujuran. (*)