Oleh: Peksyaji Karto Prawiro (Wakil Ketua I Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Depok)
Indonesia boleh saja menepuk dada sebagai raksasa baru dalam industri nikel dunia. Bisa dibilang komoditas emas di era energi bersih. Tapi di balik gegap gempita produksi baterai kendaraan listrik, kita menyimpan luka yang terus menganga. Regulasi tambang yang longgar, penegakan hukum yang ompong, dan keberlanjutan yang tinggal jargon di PowerPoint kementerian.
Pramoedya.id: Bukan lagi soal teknis eksplorasi, melainkan krisis tata kelola. Kita sedang menyaksikan bagaimana nikel yang seharusnya menjadi berkah, malah menjelma bencana ekologis karena regulasi dipreteli, partisipasi publik disingkirkan, dan praktik korupsi mengakar di balik lembaran izin tambang.
Deregulasi yang Menyisakan Kekacauan
Revisi UU Minerba No. 3 Tahun 2020 semestinya menyederhanakan izin dan memperkuat pengawasan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, kewenangan daerah dikebiri, pengawasan mengambang, dan pelaku industri leluasa bermanuver tanpa takut dikoreksi. Akibatnya? Lingkungan rusak, masyarakat lokal terdampak, dan aparat sering kali hanya hadir saat peresmian, bukan saat krisis.
Kebijakan ini juga menabrak prinsip dasar keadilan ekologis. Masyarakat adat yang selama ini menjadi penjaga hutan, malah tak dianggap penting dalam proses perizinan. Kita seolah lupa bahwa tanpa keterlibatan mereka, upaya konservasi hanya akan berakhir di seminar dan dokumen strategis nasional.
AMDAL: Dari Penjaga Menjadi Pelengkap Administrasi
Instrumen AMDAL yang seharusnya menjadi tameng lingkungan kini tumpul. Ia lebih sering dijadikan formalitas birokrasi ketimbang alat kontrol. Evaluasi pasca-proyek tak sinkron, rekomendasi sering diabaikan, dan analisis lingkungan bisa dibeli layaknya menu tambahan dalam paket investasi.
Ironisnya, orientasi AMDAL kini lebih menekankan aspek sosial-ekonomi ketimbang perlindungan ekologis. Lingkungan hidup yang semestinya jadi fokus utama, justru dilupakan. Kita sedang menyaksikan bagaimana instrumen perlindungan lingkungan menjadi sekadar dekorasi regulasi.
Izin Dibeli, Dampak Direkayasa
Korupsi adalah luka tersembunyi dalam seluruh sistem ini. Izin tambang bisa dibarter, AMDAL bisa dimanipulasi, dan pengawasan bisa dinegosiasikan. Kita tidak kekurangan aturan, tapi kekurangan niat untuk menegakkannya.
Kasus-kasus besar memang kadang terungkap. Tapi sistemik? Belum. Reformasi belum menjangkau akar persoalan, seperti relasi kuasa antara investor, pejabat, dan masyarakat yang timpang. Tanpa transparansi, keberlanjutan hanya akan menjadi kata yang cantik tapi tak punya kaki di tanah.
Lingkungan yang Dikorbankan
Produksi nikel terus digenjot tanpa rem. Imbasnya, kerusakan hutan makin luas, habitat terganggu, dan keseimbangan ekosistem runtuh. Komunitas lokal yang menggantungkan hidup pada tanah dan air menjadi korban paling awal tapi terakhir diselamatkan.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak ramah lingkungan adalah pertumbuhan semu. Ia memang menambah angka dalam laporan negara, tapi mengurangi kualitas hidup di kampung-kampung yang kini hanya menyisakan debu, lumpur, dan konflik sosial.
Demokrasi Ekologis yang Hilang
Tak ada keberlanjutan tanpa demokrasi lingkungan. Tapi di sektor pertambangan, partisipasi publik masih diperlakukan sebagai hiasan. Masyarakat dilibatkan hanya dalam forum konsultasi yang sekadar menggugurkan kewajiban. Mereka tidak diberi ruang untuk menolak, apalagi menentukan arah.
Masyarakat adat bahkan lebih parah. Mereka bukan hanya disingkirkan dari meja kebijakan, tapi juga dari tanah mereka sendiri. Padahal sejarah mencatat, di banyak tempat, wilayah adat lebih lestari ketimbang kawasan industri yang katanya “berkelanjutan”.
Menuju Tambang yang Bertanggung Jawab?
Apakah tambang nikel bisa dikelola secara berkelanjutan? Jawabannya bisa, tapi berat. Perlu reformasi menyeluruh, bukan hanya pada regulasi, tapi pada cara berpikir. Keberlanjutan harus jadi fondasi, bukan embel-embel.
Pendekatan seperti Life Cycle Sustainability Assessment (LCSA) bisa jadi alat bantu. Tapi tanpa keberanian politik dan partisipasi rakyat, pendekatan ini hanya akan jadi data di slide presentasi. Indonesia butuh arah baru yang berpihak pada keadilan ekologis, bukan semata angka ekspor.
Kepemimpinan Sejati Bukan Sekadar Produksi
Kepemimpinan Indonesia di industri nikel tak cukup diukur dari berapa juta ton yang diekspor. Tapi dari bagaimana ia memastikan bumi tidak hancur, masyarakat tidak dikorbankan, dan generasi mendatang tidak hidup di atas bekas tambang yang tandus.
Inilah tantangan kita, membangun tata kelola yang adil, transparan, dan berpandangan jauh ke depan. Bukan demi investasi semata, tapi demi kehidupan itu sendiri.(*)