Pramoedya.id: Amerika Serikat kembali menjadi sorotan internasional setelah Presiden Donald Trump dan CEO Tesla Elon Musk memicu gelombang protes di berbagai belahan dunia. Kebijakan pemerintah terhadap universitas dan mahasiswa, serta keterlibatan Musk dalam politik global, menjadi pemicu utama demonstrasi bertajuk “Hands-Off” yang digelar di lebih dari 1.200 titik pada 5 April.
Pemerintahan Trump membekukan dana federal sebesar 400 juta dolar AS kepada Universitas Columbia dan merencanakan penghentian bantuan senilai 510 juta dolar AS untuk Universitas Brown. Langkah ini diambil menyusul tuduhan bahwa kedua kampus dianggap gagal menangani kasus antisemitisme serta mendukung kebijakan Diversity, Equity, and Inclusion (DEI) yang dipandang kontroversial.
“Columbia akan terus mengambil tindakan serius untuk memerangi antisemitisme di kampus kami. Ini adalah prioritas utama kami,” tulis pernyataan resmi universitas tersebut. Sementara itu, Universitas Brown menyatakan belum menerima pemberitahuan resmi dari pemerintah. “Kami tidak memiliki informasi untuk membenarkan laporan yang beredar,” ujar juru bicara Brian Clark.
Kebijakan tersebut juga berdampak pada sektor imigrasi. Lebih dari 300 visa mahasiswa internasional dilaporkan telah dicabut karena keterlibatan mereka dalam aksi protes pro-Palestina di kampus. Sekretaris Negara Marco Rubio menyatakan, “Kami menindak pihak-pihak yang melanggar batas hukum dan menciptakan ketegangan terhadap kebijakan luar negeri negara ini.”
Kasus Mahmoud Khalil, mahasiswa Columbia yang juga penduduk tetap AS, menjadi perhatian setelah ia ditahan dan dideportasi. Di sisi lain, seorang mahasiswa asal Korea Selatan, Yunseo Chung, memperoleh penangguhan deportasi dari pengadilan federal setelah sempat ditangkap oleh otoritas imigrasi.
Situasi ini memicu unjuk rasa besar di kota-kota besar seperti New York, Washington D.C., dan Los Angeles, lalu meluas ke berbagai negara Eropa melalui aksi “Hands-Off”. Demonstrasi berlangsung di Paris, London, Berlin, dan sejumlah kota lainnya. Para demonstran menyoroti kebijakan perdagangan Trump serta pengaruh Elon Musk dalam politik domestik dan global.
Beberapa hari sebelumnya, aksi bertajuk “Tesla Takedown” berlangsung di Inggris, Jerman, Prancis, dan Kanada. Demonstran mengecam peran Musk yang dinilai memengaruhi arah kebijakan pemerintahan AS serta keterlibatannya dalam dinamika politik Eropa. Di Jerman, Musk secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap partai sayap kanan Alternative für Deutschland (AfD).
“Demokrasi kami bukan panggung selebritas Silicon Valley,” kata Kanselir Jerman Olaf Scholz, menanggapi pernyataan Musk yang menyebut AfD sebagai “satu-satunya harapan untuk Jerman.”
Di Spanyol, sejumlah organisasi non-pemerintah mengumumkan rencana keluar dari platform X milik Musk sebagai bentuk protes terhadap keterlibatannya dalam isu-isu politik di Eropa.
Sementara itu, dalam isu ekonomi, Musk mengambil posisi berbeda dengan Presiden Trump. Ia secara terbuka mengkritik kebijakan tarif dan menyerukan pembentukan zona perdagangan bebas antara Amerika Serikat dan Eropa. “Proteksionisme akan merugikan inovasi dan memperlemah kerja sama transatlantik,” ujar Musk dalam wawancara terbarunya.
Organisasi-organisasi hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch, menentang pencabutan visa dan penahanan mahasiswa internasional. “Partisipasi dalam protes damai adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin hukum internasional,” kata juru bicara HRW.
Perkembangan ini memunculkan pertanyaan lebih luas di tingkat global mengenai batasan kebebasan akademik, posisi individu berpengaruh dalam kebijakan publik, serta arah kebijakan luar negeri Amerika Serikat di tengah dinamika politik dalam dan luar negeri yang terus berkembang.(*)