Ditulis Oleh: M Iqbal Farochi (Mahasiswa Pascasarjana UNJ)
Pramoedya.id: Fenomena rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi sorotan tajam.
Publik disuguhkan fakta bahwa beberapa wakil menteri Kabinet Merah Putih kini menduduki posisi strategis di anak usaha BUMN. Sebut saja Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno di PT Pertamina International Shipping (PIS), lalu ada Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga (Wamenpora) Taufik Hidayat di PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI), disusul Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie di PT Pertamina Hulu Energi (PHE), dan tak ketinggalan Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono di PT Pertamina Patra Niaga.
Deretan nama ini memicu pertanyaan yang lebih dalam. Secara hukum, praktik ini memang diklaim tidak melanggar regulasi yang berlaku. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara secara eksplisit melarang menteri merangkap jabatan komisaris atau direksi perusahaan negara/swasta, namun celakanya, larangan serupa tidak ada untuk wakil menteri.
Kekosongan aturan ini dipertegas oleh Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-10/MBU/10/2020 dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80 Tahun 2019, yang bahkan diperkuat oleh pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi.
Jelas disebutkan bahwa larangan rangkap jabatan hanya berlaku bagi menteri dan pejabat setingkat anggota kabinet.
Namun, di sinilah letak kejanggalan yang sesungguhnya. Ketika secara legal praktik ini diperbolehkan, pertanyaan penting yang muncul adalah, apakah ini etis dan adil? Di tengah kondisi ekonomi yang menuntut efisiensi dan profesionalisme tinggi dari aparatur negara, rangkap jabatan semacam ini berpotensi menimbulkan benturan kepentingan yang tak terlihat.
Fokus seorang wakil menteri seharusnya sepenuhnya tercurah pada tugas-tugas pemerintahan yang krusial, bukan terpecah dengan tanggung jawab di korporasi negara.
Ada kekhawatiran serius bahwa peran ganda ini bisa mengaburkan prioritas dan menimbulkan potensi konflik.
Inilah mengapa judul “Yang Cerdas Mayoritas Yang Kaya Minoritas” menjadi sangat relevan dalam konteks ini.
Mayoritas masyarakat, termasuk para profesional cerdas di berbagai bidang, berjuang keras mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak, seringkali tanpa akses ke posisi-posisi ganda yang sangat menguntungkan. Di sisi lain, segelintir individu yang telah menduduki posisi kekuasaan tertentu justru bisa menambah pundi-pundi kekayaan melalui rangkap jabatan.
Situasi ini menciptakan kesan kuat bahwa kesempatan dan kemakmuran lebih mudah diraih oleh “minoritas” yang memiliki akses ke lingkaran kekuasaan, bukan berdasarkan meritokrasi yang adil bagi “mayoritas” yang mungkin sama atau bahkan lebih cerdas dan kompeten. Ini adalah narasi yang berbahaya bagi kepercayaan publik.
Meskipun secara hukum tidak ada larangan, praktik rangkap jabatan wakil menteri ini secara terang-terangan mencerminkan celah dalam sistem regulasi yang sangat perlu dievaluasi ulang.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci mutlak untuk membangun kembali kepercayaan publik yang terkikis.
Pemerintah harus benar-benar mempertimbangkan dampak persepsi ini terhadap citra birokrasi dan komitmen terhadap tata kelola yang baik.
Apalagi, semangat reformasi birokrasi seharusnya mendorong pejabat publik untuk fokus sepenuhnya pada pelayanan dan pembangunan, bukan pada akumulasi jabatan dan potensi keuntungan pribadi yang bisa dinilai mencederai rasa keadilan.
Oleh karena itu, meskipun dibenarkan secara hukum, rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN tetap menjadi pertanyaan besar tentang etika, efektivitas, dan keadilan dalam sistem pemerintahan kita. Ini adalah pembahasan krusial tentang bagaimana ketentuan legal belum tentu sejalan dengan aspirasi publik akan kesetaraan dan profesionalisme yang sesungguhnya. (*)