Oleh: Peksyaji Karto Prawiro (Wakil Ketua I Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Depok)
Agromining merupakan inovasi untuk membalik cara pandang terhadap tambang. Tidak perlu menggali perut bumi, tapi menanam dan memanen logam lewat tumbuhan. Ia memanfaatkan tanaman hiperakumulator (jenis tumbuhan yang mampu menyerap logam berat dari tanah) lalu mengubah daun dan batangnya jadi sumber nikel, kobalt, atau seng. Di tengah lanskap tambang yang compang-camping, agromining menawarkan jalan ketiga, yakni bertani logam, bukan menjarahnya.
Pramoedya.id: Indonesia berdiri di tengah dua kutub, di satu sisi ada desakan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi melalui ekspansi industri nikel, di sisi lain ada kebutuhan mendesak memperbaiki kerusakan ekologis yang ditinggalkan industri ini. Dalam ketegangan itu, agromining muncul sebagai tawaran jalan tengah. Sebuah kerangka pemulihan lahan tambang secara ekologis, produktif, dan berkeadilan sosial.
Meski belum populer, prinsip agromining telah diterapkan di banyak tempat dengan memadukan rekayasa ekologi, agroforestri, dan partisipasi masyarakat dalam upaya rehabilitasi. Tidak seperti pendekatan teknokratik yang hanya fokus pada reklamasi fisik, agromining menekankan pemulihan fungsi ekosistem dan kedaulatan masyarakat atas ruang hidupnya.
Luka Tambang dan Rehabilitasi Ekologis
Pertambangan nikel meninggalkan kerusakan serius, tanah rusak, air tercemar, dan udara terpolusi. Reklamasi konvensional hanya menyentuh permukaan penanaman vegetasi monokultur tanpa memperhatikan dinamika biologis dan sosial.
Agromining menawarkan pendekatan rekayasa ekologi dengan menghidupkan kembali vegetasi asli, memperbaiki siklus nutrisi, dan menguatkan sistem tanah. Tujuannya bukan sekadar mempercantik lahan, tapi membangun kembali kehidupan.
Strategi Terpadu: Agromining dan Pertanian
Agromining lahir dari sinergi rehabilitasi ekologis dan pertanian terpadu. Sistem ini tidak hanya memulihkan vegetasi, tetapi menciptakan ruang produksi pangan, bahan organik, hingga bioenergi. Pendekatan ini menyambungkan ekologi dan ekonomi dalam satu sistem yang berkelanjutan.
Berbagai studi menunjukkan efektivitasnya dalam mempercepat proses suksesi alami, memperbaiki tanah, dan mengurangi erosi. Hasilnya, ekosistem yang tangguh dan berfungsi.
Solusi Alam dan Teknologi Hijau
Fitomining (menggunakan tanaman untuk menyerap logam berat) telah berhasil diterapkan, misalnya di Weda Bay, Halmahera. Revegetasi dan fitoremediasi juga terbukti meningkatkan cadangan karbon tanah, membantu mitigasi perubahan iklim.
Agroforestri memperkaya keanekaragaman hayati, menciptakan mikroklimat, dan memperkuat keseimbangan ekologis jangka panjang. Semua ini membentuk pilar penting dari sistem agromining.
Dimensi Sosial: Mengembalikan Hak atas Lahan
Agromining juga menyentuh keberlanjutan sosial. Banyak wilayah tambang mengalami paradoks, pembangunan meningkat, tapi kesejahteraan warga dan kualitas lingkungan menurun. Agromining memungkinkan masyarakat terlibat dalam pemulihan lahan dan mendapatkan manfaat ekonomi secara langsung.
Pendekatan berbasis lokal dan kearifan tradisional terbukti menghasilkan praktik reklamasi yang relevan dan berkelanjutan. CSR perusahaan harus bergeser dari bantuan sesaat menjadi pemberdayaan masyarakat jangka panjang.
Tantangan Struktural dan Tata Kelola
Mengapa agromining belum jadi arus utama? Bukan karena kurang bukti, tetapi karena lemahnya regulasi, tata kelola lahan, dan implementasi kebijakan. Banyak perusahaan abai terhadap kewajiban reklamasi. Tanpa penegakan hukum yang tegas, agromining hanya akan jadi wacana.
Tumpang tindih lahan juga menjadi hambatan serius. Paradigma tambang yang mengabaikan hak masyarakat harus diubah. Rehabilitasi harus berpijak pada keadilan sosial dan partisipasi publik.
Tanpa pengawasan ketat dan sanksi nyata, agromining tak akan berjalan. Penegakan hukum yang lemah hanya memperpanjang krisis ekologis dan merusak kepercayaan publik. Perubahan struktur perizinan dan perencanaan ruang sangat dibutuhkan.
Jalan ke Depan: Rekomendasi Kebijakan
Menjadikan agromining sebagai pendekatan utama dalam rehabilitasi tambang membutuhkan intervensi strategis dari negara dan seluruh pemangku kepentingan. Perubahan tidak akan datang hanya dengan niat baik, tetapi dengan langkah kebijakan yang konkret dan terukur. Berikut ini adalah beberapa rekomendasi kebijakan untuk memperkuat masa depan agromining di Indonesia:
1. Reformasi kebijakan reklamasi dengan mengintegrasikan prinsip agromining sejak awal perencanaan tambang.
2. Penataan tata guna lahan yang adil dan pengakuan hak masyarakat atas ruang hidup.
3. Penegakan hukum yang transparan dan pengawasan partisipatif.
4. Insentif untuk agroforestri, fitoremediasi, dan monitoring karbon.
5. Pendidikan ekologi komunitas dan pelibatan warga sejak eksplorasi hingga pasca produksi.
Agromining adalah etika baru dalam merestorasi kerusakan: dari eksploitasi menuju regenerasi. Dengan pengetahuan lokal, studi kasus, dan keberpihakan kebijakan, agromining bisa menjadi model pemulihan yang tangguh dan adil. Indonesia tidak kekurangan sumber daya, hanya perlu keberanian untuk berubah.(*)