Oleh: Kalandra (Masyarakat biasa yang ingin Indonesia baik-baik saja)
Pramoedya.id: Sejak republik ini berdiri, aturan konstruksi di Indonesia seolah tidak pernah benar-benar melahirkan kepuasan. Mulai dari jalan yang cepat rusak, jembatan yang retak dini, hingga proyek-proyek fiktif yang hanya meninggalkan papan nama. Tapi mari kita bedah dari hulu: siapa sebenarnya yang boleh masuk ke dunia konstruksi?
Jawabannya: siapa saja.
Hari ini, siapapun bisa mendirikan perusahaan konstruksi. Tidak peduli apakah dia insinyur sipil, pedagang sembako, atau bahkan sarjana hukum yang sehari-hari tidak tahu beda antara beton mutu K-250 dengan K-350. Dengan modal akta notaris dan stempel perusahaan, seseorang bisa langsung ikut tender miliaran rupiah.
Pertanyaan sarkastisnya: kalau bikin firma hukum wajib sarjana hukum, mengapa bikin badan usaha konstruksi tidak wajib sarjana teknik? Mengapa sarjana teknik tidak bisa seenaknya bikin kantor hukum, tapi sarjana hukum bisa bikin CV kontraktor? Keadilan macam apa ini?
Di negara-negara maju, sektor konstruksi bukan dunia bebas. Ada gatekeeping jelas: siapa yang berhak mendirikan perusahaan, siapa yang boleh mengawasi, dan siapa yang bertanggung jawab. Tujuannya sederhana: konstruksi itu bukan sekadar bisnis, melainkan soal keselamatan publik. Jembatan roboh bukan cuma soal kerugian finansial, tapi bisa merenggut nyawa. Maka, aturan ketat adalah syarat mutlak.
Di Indonesia, justru sebaliknya. Terlalu mudah mendirikan perusahaan konstruksi membuat jumlah kontraktor dan konsultan meluber seperti jamur di musim hujan. Satu provinsi bisa punya ribuan badan usaha konstruksi. Tetapi, coba periksa: berapa banyak yang benar-benar punya kantor aktif, pekerja tetap, dan kegiatan profesional sepanjang tahun? Jawabannya: bisa dihitung dengan jari.
Sisanya? Perusahaan fiktif. Ada alamat, ada papan nama, tapi tidak ada aktivitas. Perusahaan hanya hidup beberapa bulan, persis menjelang musim proyek. Setelah itu, kantor kosong kembali, menunggu musim tender berikutnya. Dunia konstruksi akhirnya menjadi “bisnis musiman”: bekerja 5 atau 6 bulan untuk menghidupi 12 bulan.
Fenomena ini tentu punya dampak serius. Pertama, kualitas pekerjaan dipertaruhkan karena perusahaan dadakan tidak punya sumber daya manusia yang konsisten. Kedua, biaya pembangunan infrastruktur membengkak karena praktik subkontrak berlapis: perusahaan pemenang tender hanya menjual paketnya ke perusahaan lain yang benar-benar mengerjakan di lapangan. Dan ketiga, tenaga ahli tersisih, karena aturan membolehkan siapa saja masuk tanpa kompetensi yang jelas.
Dampak Sosial dan Reputasi Tercoreng
Semua kekacauan ini akhirnya bermuara pada satu hal: rusaknya citra dunia konstruksi di mata masyarakat. Publik cenderung melihat sektor ini identik dengan korupsi, manipulasi, dan proyek abal-abal. Bukan tanpa sebab: setiap kali ada jalan amblas atau gedung retak, yang pertama dicurigai adalah permainan anggaran.
Padahal, banyak insinyur profesional yang bekerja sungguh-sungguh. Namun, suara mereka tenggelam karena lebih dominan perusahaan musiman yang hidup-mati ikut tender. Akibatnya, masyarakat sulit percaya bahwa proyek infrastruktur benar-benar dikerjakan dengan standar profesional. Dunia konstruksi jadi semacam “kambing hitam permanen” setiap kali ada kegagalan pembangunan.
Yang lebih berbahaya, kondisi ini membentuk budaya permisif. Masyarakat jadi terbiasa dengan infrastruktur yang cepat rusak. Jalan berlubang setelah hujan dianggap biasa. Jembatan retak dianggap takdir. Padahal, itu hasil dari aturan longgar yang membiarkan siapapun terjun ke dunia konstruksi tanpa bekal keahlian.
Revolusi Aturan atau Stagnasi Panjang
Kalau negara ini serius ingin memperbaiki kualitas infrastruktur, maka harus ada revolusi aturan. Dunia konstruksi tidak bisa lagi diperlakukan seperti pasar malam tempat semua orang bisa buka lapak. Ia harus jadi ruang yang terbatas, khusus bagi mereka yang profesional, punya kompetensi, dan bertanggung jawab penuh atas hasil kerja.
Kalau tidak, yakinlah puluhan tahun mendatang kita masih akan berada di titik yang sama: ribuan perusahaan di atas kertas, segelintir yang bekerja sungguhan, dan masyarakat yang terus kecewa.(*)