Pramoedya.id: Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal ingin membalik cara pandang pembangunan. Jika selama ini desa dianggap sebagai penerima limpahan pertumbuhan kota, maka ke depan, kata dia, kota-lah yang harus bergantung pada desa.
“Mulai hari ini, Provinsi Lampung tumbuh tidak hanya dari Kota Bandarlampung dan Metro, tapi semua harus dari desa. Ekonomi Lampung ke depan bukan desa yang bergantung ke kota, tapi sebaliknya, kota yang bergantung ke desa,” kata Mirzani saat meluncurkan Program Desaku Maju di Kabupaten Lampung Utara, Selasa (3/6/2024).
Gagasan itu, menurut dia, bukan sekadar jargon. Lampung, lanjut Mirzani, punya kekuatan ekonomi yang terpendam di desa-desa. Dari lahan, tenaga kerja, dan potensi produksi. Namun selama ini desa tak punya cukup amunisi untuk mengolahnya menjadi nilai tambah.
“Fondasi ekonomi kita ada di desa. Tapi fondasi ini harus diperkuat lewat hilirisasi komoditas pangan dan UMKM, supaya desa tak lagi hanya menjadi tempat panen, melainkan pusat pertumbuhan,” tambahnya.
Pemerintah Provinsi Lampung, kata Mirzani, telah memulai pengembangan hilirisasi berbasis desa dengan menyebarkan mesin pengering dan alat pascapanen lainnya ke sentra-sentra produksi. Targetnya, dalam lima tahun ke depan, setiap desa di Lampung memiliki unit industri kecil yang memproses hasil panen lokal, baik singkong, padi, maupun jagung.
Ia mencontohkan Desa Wonomarto, Lampung Utara, yang memiliki 1.000 hektare lahan singkong. Petani jagung di sana, katanya, bisa merugi sampai Rp6 miliar jika terus menjual hasil panen dalam kondisi basah.
“Harga jagung basah cuma Rp3.700 per kilogram. Tapi kalau dikeringkan, pendapatan petani bisa naik Rp6 juta per hectare,” sambungnya.
Program mesin pengering yang didorong Pemprov disebutnya bisa menambah penghasilan petani hingga Rp1 juta per bulan. Tak hanya itu, desa juga bisa menarik hasil panen dari desa tetangga untuk diolah bersama.
“Itu awal dari ekosistem hilirisasi berbasis desa. Satu desa tumbuh, desa lain ikut bergerak,” ucapnya.
Namun tantangan tak kecil. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hampir 12 persen masyarakat desa di Lampung masih hidup dalam kemiskinan, dan sebagian besar merupakan petani. Banyak desa belum memiliki alat pengering maupun infrastruktur dasar untuk pengolahan hasil pertanian.
Mirzani menyebut, kekosongan infrastruktur desa membuat berbagai kebijakan pusat, seperti harga pembelian pemerintah (HPP) gabah senilai Rp6.500 per kilogram—tak bisa dimanfaatkan optimal.
“Petani tak bisa menyimpan gabah karena tak punya pengering. Maka program ini menjadi penting agar desa tidak cuma menyuplai bahan mentah, tapi bisa mengolah, menyimpan, dan menjual dengan nilai yang lebih tinggi” kata dia.
Selain Desaku Maju, penguatan desa juga didorong pemerintah pusat melalui pembentukan Koperasi Desa Merah Putih di 2.654 desa di Lampung. Ia berharap model ini menjadi tonggak perubahan wajah pembangunan di Lampung, dari sentralistik ke partisipatif, dari kota ke desa.
“Kota akan tumbuh kalau desa kuat,” kata Mirzani menutup. (*)