Pramoedya.id: Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Akar Lampung mendesak Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk segera melakukan penggeledahan terhadap PT Sugar Group Companies (SGC) dan seluruh anak perusahaannya di Lampung. Desakan ini mencuat pasca penggeledahan rumah Purwanti Lee, yang disebut-sebut sebagai pihak terkait dalam kasus dugaan suap di Mahkamah Agung.
“PT SGC membawahi sejumlah anak perusahaan seperti PT Indo Lampung Perkasa (ILP), PT Sweet Indo Lampung (SIL), PT Gula Putih Mataram (GPM), dan PT Indolampung Distillery (ILD). Kami mendesak Kejagung segera memeriksa dan menggeledah seluruhnya,” kata Ketua DPP Akar Lampung, Indra Musta’in, kepada Pramoedya.id, Kamis (29/5/2025).
Menurut Indra, kasus yang menyeret nama pimpinan SGC diduga berkaitan dengan perkara antara SGC dan perusahaan Jepang, Marubeni Corporation. Dalam penyelidikan Kejagung, muncul nama Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung, yang mengaku menerima suap senilai Rp50 miliar dari pihak SGC.
“Pengakuan itu menyebut keterlibatan langsung pimpinan SGC dalam upaya memengaruhi putusan pengadilan. Ini bukan perkara kecil. Kejagung harus bergerak cepat dan terbuka,” tegas Indra.
Ia menambahkan, akar masalah bermula dari proses akuisisi SGC oleh pengusaha Gunawan Yusuf melalui PT Garuda Panca Artha (GPA) pada tahun 2001. Saat itu, GPA memenangkan lelang aset SGC yang sebelumnya dimiliki Salim Group, melalui proses yang diselenggarakan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
“Namun, setelah akuisisi, pihak GPA menolak membayar utang SGC sebesar Rp7 triliun kepada Marubeni. Mereka menyebut utang itu hasil rekayasa. Inilah yang kemudian jadi sumber sengketa hukum yang disinyalir melibatkan praktik suap,” jelasnya.
Indra juga menyoroti dugaan pelanggaran dalam pengelolaan Hak Guna Usaha (HGU) oleh SGC. Menurutnya, ada ketidaksesuaian antara izin HGU yang dimiliki dengan luas lahan yang dikelola.
“Kami menduga ada penggarapan lahan melebihi izin HGU, termasuk lahan gambut dan rawa yang dilarang untuk dikonversi menjadi kebun tebu. Ini pelanggaran serius,” katanya.
Tak hanya soal tanah, Akar Lampung juga mempertanyakan transparansi pajak dan izin penggunaan air bawah tanah serta listrik industri oleh SGC. “Dengan wilayah pengelolaan seluas itu, apakah benar izin air bawah tanahnya hanya beberapa titik? Bagaimana dengan pembayaran pajak BPHTB, PPN produksi, dan pemakaian KWH dari PLN?” ucap Indra.
Ia juga menyoroti sejumlah konflik agraria yang melibatkan masyarakat lokal dengan pihak keamanan SGC. “Ada konflik berdarah. Tanah ulayat, milik warga, hingga tanah desa dirampas. Ini harus dibongkar,” tegasnya.
Lebih lanjut, Indra mendesak Kejagung bersikap transparan, terutama dalam menjelaskan posisi hukum pimpinan SGC. Ia mengkritik perbedaan pernyataan antara Jampidsus Febrie Adriansyah dan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, terkait ketidakhadiran Purwanti Lee dalam pemeriksaan.
“Kami ingin perlakuan terhadap kasus ini setegas dan setransparan kasus-kasus besar lain. Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan pada proses hukum,” tutup Indra. (*)