Di Bandar Lampung, ada satu jenis bangunan yang tahan uji waktu, bukan karena fondasinya kuat, tapi karena bekingnya lengkap. Kalau tiang pancangnya dijaga ormas, lantainya disemen aparat, dan atapnya dilapisi hubungan dekat di DPRD, ya sudah, hukum tinggal lewat.
Pramoedya.id: Bangunan yang direncanakan berdiri 3 lantai itu, berdiri di tepi Jalan Sultan Agung, Way Halim. Calon kostel itu terang-terangan melanggar garis sempadan dan aturan tata ruang. Tapi tak ada yang bisa menyentuhnya. Surat larangan sudah dikirim. Ancaman pembongkaran sudah diumumkan. Tapi aktivitas di lokasi tetap jalan, seolah-olah hukum hanya berlaku di spanduk kampanye.
Dari penelusuran, bangunan itu milik Devilson alias Sony. Ia disebut-sebut punya hubungan dekat dengan salah satu petinggi DPRD Kota Bandar Lampung. Tak cukup sampai di situ, proyek ini juga disebut dijaga oleh ormas dan disokong oleh oknum aparat. Maka lengkaplah proteksi: di luar dilapis beton, di dalam dilapis kuasa.
Maka tak heran jika meski sudah disurati tiga kali oleh pemkot, bangunan ini tetap berdiri dan para pekerja tetap bekerja seperti tak ada yang salah.
Hukum yang Gagal Membongkar
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Kota Bandar Lampung, Yusnadi Ferianto, mengatakan bahwa bangunan itu jelas-jelas melanggar Garis Sempadan Bangunan (GSB). Dalam dokumen PKKPR, sempadan minimal di lokasi itu adalah 22 meter dari badan jalan. Namun hasil pengukuran hanya 9 meter. Pelanggaran itu bertabrakan dengan Perda RTRW Nomor 10 Tahun 2011 dan Permen PUPR No. 20 Tahun 2021.
“Sudah tiga kali kami surati. Mereka awalnya bilang akan bongkar sendiri. Tapi sampai sekarang, tidak ada tindakan,” kata Yusnadi.
Yusnadi berdalih bahwa saat izin PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) terbit, lahan masih kosong. Penyimpangan baru terlihat saat struktur mulai naik. Tapi tentu, publik berhak bertanya: apa gunanya izin dan pengawasan, jika pada akhirnya pelanggaran tetap jadi bangunan?
Kesepakatan di Luar Meja Hukum
Pernyataan Yusnadi jadi absurd jika dibandingkan dengan pengakuan dari pihak lapangan. Ali Heri, orang yang mengurusi material bangunan, terang-terangan menyebut telah terjadi kompromi: “bos dan bos” telah sepakat untuk mengurangi jarak pelanggaran hanya satu meter saja, dari 9 meter jadi 10 meter. Sempadan 22 meter? Jadi angka yang tak penting di tengah negosiasi informal.
Apakah “bos dan bos” yang disebut itu pejabat teknis? Atau dua orang yang tak tercatat dalam struktur tapi punya kuasa lebih besar dari kepala dinas? Dalam logika kekuasaan lokal, kita tahu bahwa banyak keputusan justru terjadi di luar forum resmi, bahkan kadang di luar akal sehat.
Peta Kota Versi Para Bos
Yang terjadi di Sultan Agung adalah cermin kecil dari pembusukan kota: bagaimana ruang publik dikapling oleh jaringan informal yang bekerja lebih efektif daripada regulasi. Hukum tak mampu menindak, dan ketika aparat ikut menjaga bangunan ilegal, maka yang berdiri bukan cuma bangunan haram, tapi juga sistem impunitas.
Jika pemkot benar-benar ingin menertibkan, maka Agustus bukan hanya soal jadwal rapat teknis yang telah direncanakan. Itu harus jadi titik balik: apakah negara bisa menang melawan kolusi berskala lokal, atau justru ikut dalam barisan diam yang membuat hukum jadi dekorasi.
Satu kostel haram bisa jadi remeh. Tapi ketika hukum bisa ditekuk oleh beking politik dan ormas, maka kita sedang menyaksikan kota yang dibangun di atas kesepakatan para bos, bukan oleh rencana tata ruang.(*)