Tata Ruang di Kavling Bos: Cerita Bangunan Haram Sultan Agung

- Editor

Jumat, 25 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Di Bandar Lampung, ada satu jenis bangunan yang tahan uji waktu, bukan karena fondasinya kuat, tapi karena bekingnya lengkap. Kalau tiang pancangnya dijaga ormas, lantainya disemen aparat, dan atapnya dilapisi hubungan dekat di DPRD, ya sudah, hukum tinggal lewat.

Pramoedya.id: Bangunan yang direncanakan berdiri 3 lantai itu, berdiri di tepi Jalan Sultan Agung, Way Halim. Calon kostel itu terang-terangan melanggar garis sempadan dan aturan tata ruang. Tapi tak ada yang bisa menyentuhnya. Surat larangan sudah dikirim. Ancaman pembongkaran sudah diumumkan. Tapi aktivitas di lokasi tetap jalan, seolah-olah hukum hanya berlaku di spanduk kampanye.

Dari penelusuran, bangunan itu milik Devilson alias Sony. Ia disebut-sebut punya hubungan dekat dengan salah satu petinggi DPRD Kota Bandar Lampung. Tak cukup sampai di situ, proyek ini juga disebut dijaga oleh ormas dan disokong oleh oknum aparat. Maka lengkaplah proteksi: di luar dilapis beton, di dalam dilapis kuasa.

Maka tak heran jika meski sudah disurati tiga kali oleh pemkot, bangunan ini tetap berdiri dan para pekerja tetap bekerja seperti tak ada yang salah.

Hukum yang Gagal Membongkar

Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Kota Bandar Lampung, Yusnadi Ferianto, mengatakan bahwa bangunan itu jelas-jelas melanggar Garis Sempadan Bangunan (GSB). Dalam dokumen PKKPR, sempadan minimal di lokasi itu adalah 22 meter dari badan jalan. Namun hasil pengukuran hanya 9 meter. Pelanggaran itu bertabrakan dengan Perda RTRW Nomor 10 Tahun 2011 dan Permen PUPR No. 20 Tahun 2021.

“Sudah tiga kali kami surati. Mereka awalnya bilang akan bongkar sendiri. Tapi sampai sekarang, tidak ada tindakan,” kata Yusnadi.

Yusnadi berdalih bahwa saat izin PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) terbit, lahan masih kosong. Penyimpangan baru terlihat saat struktur mulai naik. Tapi tentu, publik berhak bertanya: apa gunanya izin dan pengawasan, jika pada akhirnya pelanggaran tetap jadi bangunan?

Kesepakatan di Luar Meja Hukum

Pernyataan Yusnadi jadi absurd jika dibandingkan dengan pengakuan dari pihak lapangan. Ali Heri, orang yang mengurusi material bangunan, terang-terangan menyebut telah terjadi kompromi: “bos dan bos” telah sepakat untuk mengurangi jarak pelanggaran hanya satu meter saja, dari 9 meter jadi 10 meter. Sempadan 22 meter? Jadi angka yang tak penting di tengah negosiasi informal.

Apakah “bos dan bos” yang disebut itu pejabat teknis? Atau dua orang yang tak tercatat dalam struktur tapi punya kuasa lebih besar dari kepala dinas? Dalam logika kekuasaan lokal, kita tahu bahwa banyak keputusan justru terjadi di luar forum resmi, bahkan kadang di luar akal sehat.

Peta Kota Versi Para Bos

Yang terjadi di Sultan Agung adalah cermin kecil dari pembusukan kota: bagaimana ruang publik dikapling oleh jaringan informal yang bekerja lebih efektif daripada regulasi. Hukum tak mampu menindak, dan ketika aparat ikut menjaga bangunan ilegal, maka yang berdiri bukan cuma bangunan haram, tapi juga sistem impunitas.

Jika pemkot benar-benar ingin menertibkan, maka Agustus bukan hanya soal jadwal rapat teknis yang telah direncanakan. Itu harus jadi titik balik: apakah negara bisa menang melawan kolusi berskala lokal, atau justru ikut dalam barisan diam yang membuat hukum jadi dekorasi.

Satu kostel haram bisa jadi remeh. Tapi ketika hukum bisa ditekuk oleh beking politik dan ormas, maka kita sedang menyaksikan kota yang dibangun di atas kesepakatan para bos, bukan oleh rencana tata ruang.(*)

Berita Terkait

Fitrianita Damhuri Dipaksa “Menelantarkan” Disaat Hari Nasional Anak
Perselingkuhan Pemda Lamteng: Janji Pahit di Tengah Kebun Tebu
Silat Lampung di Ambang Senja, Kala Warisan Lokal Tercekik di Tanah Sendiri
Dari Kacamata Ferry Irwandi: Kasus Tom Lembong dan Absennya Niat Jahat
Ketika Indonesia Bikin Versi Nyata Novel 1984
Bernapas pun Salah: Dosa Laki-laki di Mata Narasi (Bukan Tulisan untuk Perempuan)
Di Balik Konferensi Pers: KIM dan Seni Menyulap Narasi
Lumbung Padi Tak Menjamin Kenyang, Anomali Harga Beras Meroket

Berita Terkait

Jumat, 25 Juli 2025 - 19:34 WIB

Tata Ruang di Kavling Bos: Cerita Bangunan Haram Sultan Agung

Kamis, 24 Juli 2025 - 22:22 WIB

Fitrianita Damhuri Dipaksa “Menelantarkan” Disaat Hari Nasional Anak

Rabu, 23 Juli 2025 - 11:26 WIB

Perselingkuhan Pemda Lamteng: Janji Pahit di Tengah Kebun Tebu

Sabtu, 19 Juli 2025 - 19:21 WIB

Silat Lampung di Ambang Senja, Kala Warisan Lokal Tercekik di Tanah Sendiri

Sabtu, 19 Juli 2025 - 16:25 WIB

Dari Kacamata Ferry Irwandi: Kasus Tom Lembong dan Absennya Niat Jahat

Berita Terbaru

Foto: ilustrasi

Perspektif

Tata Ruang di Kavling Bos: Cerita Bangunan Haram Sultan Agung

Jumat, 25 Jul 2025 - 19:34 WIB

Lampung

Wamen PANRB: RSUDAM Bantah Isu Miring dengan Kinerja Terbaik

Kamis, 24 Jul 2025 - 22:52 WIB

Lampung

Juleha Lampung Siap Sukseskan Halal Fun Walk 2025

Kamis, 24 Jul 2025 - 22:33 WIB