Pramoedya.id: Tak cuma bahasa Lampung yang masuk kategori “hampir punah” versi UNESCO, tapi keseluruhan budayanya juga terengah-engah. Di banyak sudut, Lampung hanya tampil lewat busana adat saat pernikahan, atau tarian yang naik panggung saban festival tahunan. Filosofi hidup pun pelan-pelan memudar dari bibir generasi muda.
Salah satu yang tergerus pelan-pelan yakni silat Lampung. Ia hidup di dusun-dusun, diajarkan dalam keheningan, tapi asing di ruang publik kota. Ia bukan sekadar bela diri, melainkan jejak nilai, kehormatan, dan spiritualitas orang Lampung. Tapi kini, panggung itu direbut karate dari Jepang, taekwondo dari Korea, bahkan pencak silat aliran Madiun. Sedangan silat Lampung terengah-engah di tanahnya sendiri.
Di Panggung, Tapi Sekadar Figuran
Silat Lampung pernah jadi napas keratuan Melinting, Skala Brak, hingga Pugung. Ia tak hanya ilmu pukul, tapi bagian dari adat, kedewasaan, dan harga diri. Sayangnya, ia tak sempat ikut sistematisasi. Tak ada sabuk, tak ada organisasi, tak ada kompetisi nasional. Maka ia kalah populer.
Bandingkan dengan PSHT atau Tapak Suci yang sudah menjelma jadi “franchise budaya nasional”. Ada struktur, ada sabuk, ada kompetisi, bahkan akun medsos dan konten digital. Sementara silat Lampung? Ia muncul sebentar saat pembukaan festival, lalu kembali tenggelam dalam sakralitas yang rapat.
Ketika Guru Tak Lagi Ada
Silat Lampung mewariskan satu masalah pelik, jumlah guru yang makin menipis. Tradisi pengajaran eksklusif membuatnya makin sempit jangkauan. Tanpa dokumentasi, ketika satu guru wafat, maka ikut hilang pula satu jurus, satu sejarah.
Contoh kecil, di Kecamatan Rajabasa, ada Perguruan Silat Keratuan Lampung yang letaknya bahkan strategis, dekat terminal. Tapi minat warga kota tetap suam-suam kuku. Ternyata bersaing dengan pusat perbelanjaan dan hiburan adalah ujian berat bagi sebuah tradisi.
Pemerintah yang Datang Saat Perlu
Pemerintah sebenarnya muncul. Tapi sebatas seremonial. Silat ditampilkan di festival, dimasukkan dalam brosur pariwisata. Tapi soal pembinaan? Nihil. Tak ada anggaran, tak ada pelatihan pelatih, tak ada kurikulum. Beberapa tokoh daerah sempat mendekat, tapi itu pun ketika musim kampanye tiba. Setelahnya? Sunyi.
Padahal Pemprov bisa saja mulai dari hal sederhana. Semisal mendata guru, merekam jurus, membuat pelatihan berkala, bahkan menjadikan silat Lampung sebagai ekstrakurikuler resmi di sekolah. Tapi tampaknya, selera terhadap budaya lokal belum naik daun di ruang kebijakan.
Sibuk Menjaga Tembok
Masalah lainnya datang dari dalam. Beberapa guru adat masih memandang silat Lampung sebagai warisan rahasia. Tidak bisa sembarang diajarkan. Sakral, katanya. Akibatnya, ia jadi eksklusif.
Padahal di luar sana, bela diri modern sudah menyesuaikan diri dengan zaman. Mereka punya kanal YouTube, pelatihan daring, katalog gerakan dalam bentuk e-book. Sementara silat Lampung masih sibuk menjaga “pintu gerbang warisan”.
Tentu ini bukan salah sepenuhnya. Para guru silat umumnya lansia yang tak terbiasa dengan teknologi. Tapi jika pemerintah dan anak muda tak menjembatani, silat Lampung akan terus berada di balik tirai waktu.
Bukan Tak Menarik, Hanya Tak Diberi Panggung
Silat Lampung bukan tak menarik. Ia punya filosofi dalam, gerakan unik, dan akar sejarah panjang. Tapi semua itu takkan bermakna jika tak ada ruang tumbuh. Ia bukan kalah kualitas, tapi kalah promosi, kalah sistem, kalah dukungan.
Kalau pemerintah serius, dokumentasi dan digitalisasi bisa jadi titik awal. Buka ruang untuk pelatih muda, buat jalur kompetisi, dan jadikan silat Lampung sebagai muatan lokal resmi. Tradisi tak bisa diselamatkan lewat brosur. Ia perlu diletakkan dalam sistem.
Menunggu Mati atau Memilih Hidup
Kita ada di batas waktu. Kalau terus dibiarkan, silat Lampung akan mati pelan-pelan. Ia akan tinggal jadi pertunjukan teatrikal di acara budaya, tanpa ada yang betul-betul tahu maknanya.
Seandainya kita bergerak sekarang, kita masih bisa menyelamatkannya, dari dusun ke sekolah, dari mulut ke layar, dari festival ke gelanggang.
Karena budaya bukan sekadar identitas. Ia adalah nyawa. Dan nyawa itu, kini sedang sekarat.
Suara Para Pelaku
“Kalau bisa sih, silat Lampung itu ada anggaran khusus dan dikenalkan di sekolah. Biar anak-anak tahu kalau ini budaya kita,” kata salah satu praktisi silat yang saya temui. Suaranya lirih, tapi penuh harap.
“Jangan nanti dibilang, silat kita malah dari luar semua.”
Yang mereka minta tak muluk. Sekadar ruang untuk tampil. Bukan untuk pamor, tapi agar warisan itu tak putus. Biar silat Lampung bisa berdiri sejajar, bukan sekadar sebagai pelengkap festival, tapi sebagai wajah asli dari tanah yang disebut Sai Bumi Ruwa Jurai.
Catatan: Penulisan ini melalui proses wawancara dan kajian dari beragam sumber daring. Penulis menyadari bahwa topik budaya Lampung sangat kaya dan kompleks. Oleh karena itu, jika ada hal yang kurang tepat, penulis sangat terbuka untuk diluruskan. (*)