Di negeri yang saban hari bicara efisiensi, di mana Presiden RI berulang kali mengingatkan hemat anggaran dan pengetatan belanja negara, kabar dari Lampung terasa seperti sindiran.
Pramoedya.id: DPRD Lampung menganggarkan Rp4,4 miliar untuk merehabilitasi rumah dinas ketua dewan pada 2025. Mungkin bagi para dewan itu sekadar baris dalam APBD, sebuah program yang bisa dijustifikasi secara prosedural. Tapi bagi rakyat yang masih harus menghitung rupiah demi rupiah untuk makan dan biaya sekolah, terasa seperti lelucon yang pahit.
Badan Pusat Statistik mencatat ada 887 ribu orang miskin di Lampung per Maret 2025, sekitar sepuluh persen penduduk. Ratusan ribu di antaranya hidup dengan pengeluaran di bawah enam ratus ribu rupiah per bulan. Dalam kondisi seperti ini, Rp4,4 miliar setara nafkah sebulan bagi lebih dari tujuh ribu keluarga miskin. Sementara di pelosok, 6.298 ruang kelas sekolah rusak berat, menunggu diperbaiki agar tidak jadi penjara bocor bagi anak-anak yang sedang belajar.
Di puskesmas, tenaga kesehatan masih jauh dari cukup. Lampung kekurangan hampir enam belas ribu nakes, dengan hanya sedikit lebih dari 2.500 dokter melayani jutaan penduduk. Di jalan-jalan provinsi, hampir seperempat jaringan rusak, sebagian berlubang, sebagian patah, sebagian menunggu korban.
Pertanyaannya sederhana: apa yang lebih mendesak, genteng rumah pejabat atau atap sekolah anak-anak desa? Cat tembok rumah dinas atau perbaikan puskesmas? Kenyamanan satu kursi kekuasaan atau keselamatan ratusan ribu rakyat di jalan yang berlubang?
Lebih ironis lagi, proses pengadaannya penuh tanda tanya. Tercatat ada 13 perusahaan yang mendaftar, tetapi hanya satu yang benar-benar mengajukan penawaran. Situasi yang terlalu sering terjadi: persaingan semu, kompetisi sepi, proyek jatuh ke satu tangan yang seakan sudah disiapkan. Apalagi LPSE Lampung sempat terkunci, membuat transparansi yang seharusnya terang benderang malah jadi ruang gelap. Jika pintu utama saja bisa macet, bagaimana bisa publik percaya tidak ada tangan yang mengatur di balik layar?
DPRD mungkin akan berkata semuanya sesuai aturan. Ada dokumen, ada rapat paripurna, ada prosedur. Tetapi yang dipertanyakan bukanlah kelengkapan berkas, melainkan legitimasi moral. Pantaskah uang rakyat miliaran dipakai untuk membetulkan rumah pejabat, sementara rakyat tak sanggup membetulkan hidupnya sendiri? Apakah rumah dinas pejabat lebih layak diprioritaskan ketimbang ribuan ruang kelas reyot, kekurangan dokter, dan jalan-jalan rusak yang setiap hari membunuh asa?
Rehabilitasi rumah dinas Ketua DPRD Lampung ini pada akhirnya bukan hanya soal genteng dan cat. Ia menjadi simbol jurang yang makin dalam antara elite dan rakyat. Antara retorika efisiensi yang ramai di Jakarta dan praktik boros yang tak malu-malu di daerah. Antara dokumen APBD yang rapi di atas meja dan sekolah yang jebol di lapangan. Antara sistem lelang yang bisa terkunci dan jalan berlubang yang bisa menelan nyawa.
Ketika pejabat lebih sibuk membenahi rumahnya sendiri ketimbang membenahi nasib rakyat, maka dewan bukan lagi rumah rakyat, melainkan rumah pribadi yang dibiayai rakyat. Rp4,4 miliar tak hanya angka dalam anggaran, ia adalah cermin. Cermin yang memantulkan betapa jauhnya wakil rakyat dari penderitaan rakyat yang mereka klaim wakili.
Catatan: Sudah lebih dari 1×24 jam sejak konfirmasi dikirimkan, namun pihak-pihak terkait belum memberi jawaban.(*)