Ratusan kepala keluarga dari SP 1, 2, dan 3 hidup tanpa kepastian sejak 1997. Ditinggal negara, dijerat skema plasma, dan dipaksa menandatangani perjanjian dalam diam.
Pramoedya.id: Masyarakat Satuan Permukiman (SP) 1, 2, dan 3 yang pada 17 Juli lalu menggelar unjuk rasa di Kantor Bupati Lampung Tengah, menyimpan fakta penting yang belum banyak terungkap ke publik.
Tuntutan mereka soal desa definitif bukan sekadar urusan birokrasi, melainkan akumulasi kekecewaan akibat hilangnya peran negara selama lebih dari dua dekade. Warga yang tinggal di tiga SP tersebut merupakan peserta transmigrasi lokal sejak 1997. Mereka datang dari Tanggamus, Pringsewu, dan Lampung Barat, dalam sebuah kesepakatan antara pemerintah daerah dan perusahaan, PT Gula Putih Mataram (GPM), anak perusahaan dari Sugar Group Companies (SGC), yang saat itu membutuhkan tenaga kerja untuk membuka lahan perkebunan tebu.
Ratusan kepala keluarga yang menerima program itu dijanjikan hak atas tanah, rumah tinggal, serta lahan garapan. Tak hanya itu, status wilayah mereka juga dijanjikan akan berubah menjadi desa definitif setelah lima tahun bermukim.
Namun, alih-alih dipenuhi, janji tersebut banyak diingkari. Hingga hari ini, warga masih “menginduk” secara administratif ke Desa Mataraman Udik, Kecamatan Bandar Mataram, Lampung Tengah, yang jaraknya cukup jauh, dengan medan berlumpur saat hujan mengguyur. Mereka nyaris tak pernah benar-benar dianggap sebagai bagian dari desa induk maupun sebagai entitas mandiri yang layak diperjuangkan haknya. Ini terbukti dari hal mendasar: aliran listrik baru masuk ke SP 1 dan SP 2 pada tahun 2023, dua dekade lebih sejak mereka menetap.
Warga mengaku bahwa perjuangan untuk mendapatkan hak-hak mereka bukanlah hal baru. Protes dan dialog telah dilakukan sejak lama. Namun, setiap kali suara mereka mulai terdengar, intimidasi dari pihak perusahaan hampir selalu hadir. PT GPM, sebagai entitas bisnis raksasa, dinilai tak segan memberi tekanan ketika warga mencoba bersuara menuntut keadilan.
Unjuk rasa ribuan warga dan mahasiswa pada 17 Juli lalu hanyalah satu bentuk dari deretan panjang perjuangan yang telah mereka tempuh. Beberapa hari kemudian, pada Senin, 21 Juli 2025, perwakilan warga dari SP 1, 2, dan 3 mendatangi tokoh adat Lampung, Ike Edwin, di Lamban Kuning. Mereka datang bersama anggota DPRD Provinsi Lampung dapil Lampung Tengah, Munir Abdul Haris.
Dalam pertemuan itu, warga menceritakan secara runtut sejarah sejak 1997 hingga hari ini. Di sinilah muncul sebuah fakta baru yang membuat luka mereka terasa semakin dalam. Menurut kesaksian warga, pada 2021 lalu, mereka dipanggil ke Kantor Bupati Musa Ahmad. Saat itu, seluruh perwakilan warga diwajibkan menyerahkan HP sebelum masuk ruangan. Di dalam, Musa Ahmad berbicara dengan nada tinggi dan memaksa mereka menandatangani perpanjangan skema kemitraan plasma, yang masa berlakunya memang habis di tahun itu.
Dengan perasaan tertekan dan takut, warga akhirnya menandatangani perpanjangan tersebut. Akibatnya, skema plasma diperpanjang hingga tahun 2041, dua dekade ke depan. Indikasi perselingkuhan antara pemerintah dan oligarki juga begitu terasa menyengat.
Apa Itu Skema Plasma?
Skema plasma adalah sistem kemitraan antara perusahaan besar (inti) dan petani lokal (plasma), di mana perusahaan menyediakan lahan, bibit, serta teknis budidaya, lalu hasilnya dibeli kembali oleh perusahaan dengan sistem bagi hasil.
Di atas kertas, skema ini terlihat menjanjikan. Tapi dalam praktiknya, banyak petani menilai sistem ini timpang. Di SP 1, 2, dan 3, warga mengaku hanya mendapatkan hasil Rp4–5 juta per tahun per kepala keluarga. Itu artinya, dalam satu bulan, penghasilan mereka bahkan tidak sampai Rp500 ribu. Jumlah yang sangat jauh dari kata layak, apalagi untuk kehidupan petani yang harus memenuhi kebutuhan hidup harian sekaligus biaya pendidikan anak-anak mereka.
Selain rendahnya hasil, transparansi dalam skema plasma juga dipertanyakan. Warga tidak mengetahui dengan pasti bagaimana perhitungan hasil panen, berapa harga jual tebunya, serta potongan-potongan apa saja yang dibebankan oleh perusahaan.
Munir Abdul Haris, yang dulunya dikenal sebagai Munir Che Anam saat masih menjadi aktivis mahasiswa, berjanji akan mengawal dan mendampingi perjuangan warga hingga tuntas. Sementara itu, Ike Edwin menyatakan siap membantu komunikasi dengan kementerian serta pemerintah provinsi dan kabupaten.
Meski dukungan mulai berdatangan, nasib ribuan keluarga di SP 1, 2, dan 3 masih menggantung. Hak atas tanah, lahan garapan, dan pengakuan desa definitif belum kunjung datang. Skema plasma yang diperpanjang secara sepihak itu kini bukan sekadar perjanjian kerja, tapi penjara ekonomi yang membuat mereka terikat pada tanah yang tak pernah benar-benar mereka miliki, hingga 2041.(*)