Pramoedya.id: “Tanah adalah soal hidup dan mati. Tanah adalah hidup, dan kehilangan tanah adalah mati.”
Kutipan mendalam dari Pramoedya Ananta Toer ini seharusnya menjadi pegangan utama bagi setiap pemangku kepentingan yang mengurusi agraria di Indonesia. Tanah, bagi rakyat, bukan sekadar properti, melainkan napas kehidupan, sumber penghidupan, dan warisan turun-temurun. Kehilangan tanah berarti kehilangan segalanya.
Namun, realitasnya justru jauh panggang dari api. Alih-alih menjadikan tanah sebagai prioritas kedaulatan rakyat, negara kerap terlihat gamang, bahkan enggan menyentuh persoalan tanah milik korporasi besar.
Salah satu kasus yang sudah lama menjadi sorotan adalah dugaan kelebihan lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik Sugar Group Companies (SGC) di Lampung. Mari kita bedah kasus ini lebih dalam.
Didesak empat Penjuru Angin, Negara Tetap Enggan Ukur
Desakan untuk mengukur ulang lahan SGC bukanlah hal baru. Setidaknya Gwaa mencatat sejak Provinsi Lampung dipimpin oleh Arinal Djunaidi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aliansi Komando Aksi Rakyat (AKAR) Lampung gencar menyuarakan indikasi pengemplangan pajak oleh SGC.
AKAR tidak sendirian. Berbagai elemen masyarakat, mulai dari LSM lain, akademisi, hingga aktivis lingkungan, telah lama menyuarakan keresahan serupa. Cukup telusuri pemberitaan online, dan Anda akan menemukan jejak panjang perjuangan mereka.
Bahkan setelah pergantian kepemimpinan daerah, desakan ini tak mereda. Di bawah kepemimpinan Rahmat Mirzani Djausal, AKAR tetap militan, hingga bersinergi dengan dua LSM lain, PEMATANK dan KERAMAT Lampung, membentuk aliansi tiga LSM Lampung.
Laporan dan aksi demonstrasi berulang kali mereka lakukan ke pemerintah pusat. Hasilnya, perjuangan mereka membuahkan respons dari DPR RI.
Pada pertengahan Juli, Komisi II DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Kementerian ATR/BPN dan ketiga LSM tersebut.
Dari RDPU itu diputuskan perlu dilakukannya pengukuran ulang terhadap lahan milik perusahaan gula terbesar di Asia Tenggara tersebut.
Keputusan ini memicu gelombang dukungan di Lampung. Masyarakat, aktivis, hingga Ketua DPRD Lampung menyuarakan dukungannya. Seharusnya, konsensus dari berbagai elemen ini sudah sangat mewakili keinginan masyarakat. Namun, pada kenyataannya, negara tetap terkesan tak berdaya.
Dalih Biaya, Sinyal Ketakutan Negara pada SGC
Harapan masyarakat sipil membumbung tinggi saat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, melakukan kunjungan kerja ke Lampung.
Namun, alih-alih memberikan komitmen tegas, Nusron justru menyoroti persoalan biaya.
Ia secara tegas menyatakan bahwa pengukuran ulang lahan milik perusahaan bukanlah tanggung jawab negara melainkan tanggung jawab pemohon, kecuali dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang biayanya tertanggung oleh negara.
Menurutnya, jika APBN terus-menerus digunakan untuk mengukur lahan korporasi, ini bisa menjadi “preseden buruk” yang akan membuat perusahaan enggan membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Padahal, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sudah menjadi pemohon, Namun hal itu, menurut Nusron, belum bisa dilakukan karena proses di lapangan akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pernyataan ini sontak menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, pengukuran ulang yang dimaksud bukanlah sekadar formalitas, melainkan upaya mengungkap dugaan pelanggaran serius.
Satu sisi, Argumen Nusron sungguh menggelitik. Kepala Kanwil BPN Lampung sendiri, Hasan Basri Natamenggala, pernah memprediksi setidaknya Rp10 miliar dibutuhkan untuk pengukuran ulang lahan SGC. Bagaimana mungkin sebuah negara dengan triliunan anggaran merasa keberatan dengan nominal sekecil itu, apalagi demi menegakkan hukum dan mengamankan asetnya? Apalagi, jika terbukti melanggar, denda atau aset yang bisa kembali ke negara berpotensi jauh lebih besar daripada modal pengukuran.
Bukankah ini adalah investasi kecil untuk keuntungan besar bagi negara?
Negara Pernah Lebih Berani
Yang membuat argumen Nusron Wahid semakin rapuh adalah catatan sejarah. Pada tahun 2022, Presiden Jokowi pernah dengan tegas memerintahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menertibkan ribuan hektare lahan sawit ilegal di kawasan hutan.
Proses ini tentu memakan biaya besar, mulai dari pemetaan, verifikasi, hingga eksekusi hukum. Namun, negara tetap melaksanakannya, karena ini adalah persoalan kedaulatan.
Lantas, mengapa negara mendadak “irit” ketika berhadapan dengan SGC, sebuah perusahaan yang diduga kuat melanggar hukum agraria selama puluhan tahun.
Perbandingan ini jelas menyoroti standar ganda dalam penggunaan APBN. Terkesan lebih lunak dan fleksibel untuk “menyelamatkan” korporasi dalam kondisi tertentu, tetapi mendadak ketat saat harus menegakkan hukum yang justru berpotensi mengembalikan hak dan aset negara. “Ketakutan” Menteri Nusron dalam kasus HGU SGC ini jelas bukan hanya soal anggaran semata.
Aroma Tekanan dan Jaringan Kuat SGC
“Ketakutan” Nusron ini mungkin bukan soal uang semata. Ada kemungkinan ini adalah cerminan dari beban politik atau tekanan tersembunyi dari pihak berkepentingan yang tidak ingin HGU SGC diutak-atik. Membongkar kelebihan lahan SGC berarti membuka kotak Pandora penyimpangan yang lebih dalam, dan mungkin menyeret nama-nama besar. Dalih “biaya” dan “preseden buruk” menjadi pilihan yang lebih “aman” daripada menjelaskan intrik di balik layar.
SGC memang dikenal memiliki jejaring luas hingga ke lingkaran elite. Mereka bukan hanya pengusaha gula, tetapi juga pemain besar dalam kancah politik daerah.
Dukungan mereka terhadap kepala daerah, kedekatan dengan aparat, bahkan dugaan keterlibatan dalam pembiayaan politik, sudah menjadi rahasia umum.
Maka, tidak heran jika isu pengukuran ulang lahan terasa seperti membuka kotak Pandora. Siapa tahu, jika HGU benar-benar diukur secara transparan, akan terbongkar bahwa lahan yang selama ini mereka kelola tidak seluruhnya legal. Dan bisa saja, nama-nama besar ikut terseret.
Diakhir, mari sama-sama kita menantikan apakah negara tetap enggan mengukur lahan SGC seperti yang diminta oleh DPR RI.
Atau negara lebih memilih irit APBN sebesar Rp10miliar untuk mengukur lahan SGC dengan potensi untung lebih besar. (*)