Pramoedya.id: Tahun 1945, dua kota besar di Jepang luluh lantak oleh bom atom. Kekalahan total di depan mata. Namun, di tengah keputusasaan, sebuah narasi kuat menceritakan prioritas yang mendasari kebangkitan bangsa tersebut. Otoritas Jepang tidak menanyakan sisa logistik atau persenjataan, melainkan sebuah pertanyaan fundamental: “Ada berapa guru yang tersisa?”
Pertanyaan itu mencerminkan pemahaman filosofis yang mendalam: aset terbesar sebuah bangsa bukanlah infrastruktur fisik yang mudah hancur, melainkan Sumber Daya Manusia (SDM), dan SDM hanya dapat dibentuk melalui tangan para pendidik. Fokus Jepang pada pemulihan sistem guru menghasilkan generasi yang mampu menguasai industri otomotif, robotika, dan teknologi canggih, apa yang kita sebut “besi-besi berjalan” yang mendunia.
Begitu pula Singapura. Negara yang minim sumber daya alam ini memilih untuk merekayasa profesi guru sebagai profesi elit. Calon guru diseleksi dari sepertiga teratas lulusan terbaik dan dijamin gaji yang sangat kompetitif dengan sektor swasta, lengkap dengan jalur karier yang jelas. Singapura membuktikan, untuk menghasilkan SDM berkualitas global, Anda harus terlebih dahulu menarik dan menghargai talenta terbaik ke dalam ruang kelas. Sedangkam Republik Indonesia?
Protes dan Panggilan Jiwa yang Eksploitatif
Dua kisah ini menjadi tamparan keras di Hari Guru Indonesia. Alih-alih merayakan guru sebagai fondasi kebangkitan dan profesi elit, kita justru dihadapkan pada realitas kontras yakni guru kita terutama honorer berjuang untuk bertahan hidup, bahkan harus turun ke jalanan.
Tidak jarang kita melihat foto-foto di media massa berupa Guru berunjuk rasa, menuntut kejelasan status dan upah yang layak. Mereka yang seharusnya sibuk merancang kurikulum dan menginspirasi di kelas, justru harus menyuarakan keadilan dasar di depan gedung DPR atau kantor pemerintah daerah. Inilah ironi terbesar: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang secara moral kita agungkan, justru secara material kita biarkan termarjinalkan.
Retorika “Panggilan Jiwa” telah menjadi eufemisme untuk eksploitasi. Panggilan hati nurani yang membuat mereka bertahan dengan upah Rp300.000 hingga Rp500.000 per bulan, jauh di bawah UMK telah dijadikan alasan oleh sistem untuk membenarkan ketidaklayakan.
Kita menuntut dedikasi setara samurai Jepang, namun memberikan kesejahteraan setara relawan. Kita berharap kualitas pendidikan ala Singapura, namun membiarkan guru terbaik kita enggan mengajar karena ketidakpastian status dan finansial.
Memuliakan Guru adalah Investasi Jangka Panjang
Jepang dan Singapura menunjukkan bahwa kesejahteraan guru bukanlah biaya, melainkan investasi strategis paling mendasar dalam kekuatan nasional. Jika kita ingin mendapatkan talenta-talenta terbaik bangsa untuk mendidik anak-anak kita, profesi guru harus kompetitif dan menjanjikan.
Maka, Hari Guru harusnya menjadi penanda akhir dari mentalitas yang mengagungkan kemiskinan dan ketidakadilan. Ini adalah momentum untuk secara kolektif menuntut negara menghentikan eksploitasi status dengan menetapkan regulasi nasional yang menjamin standar gaji minimum guru honorer setara dengan UMR di wilayahnya. Lebih dari itu, percepatan jalur transisi guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau ASN harus segera direalisasikan, menghapus ketidakpastian status yang melukai martabat profesional.
Mari kita pastikan bahwa penjaga peradaban bangsa ini tidak lagi cemas memikirkan tagihan bulanan mereka, melainkan fokus sepenuhnya pada tugas mulia mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana yang diyakini Jepang pasca-perang.
Diakhir, selamat hari guru nasional 2025. (*)







