“Sejarah bukan sekadar catatan, tapi daftar panjang luka yang diwariskan.”
Pramoedya.id: Hari itu, di Malang, unjuk rasa kembali pecah. Aparat kembali beraksi, seperti sebuah orkestra yang sudah tahu betul nadanya: gebuk, ciduk, bungkam. Mahasiswa berjatuhan, jurnalis dipukul, paramedis tak luput dari represi. Semua terjadi atas nama “keamanan,” kata yang sering kali lebih berbahaya daripada ancaman itu sendiri.
Saya membaca berita itu dengan getir. Bukan sekadar karena empati, tetapi karena ini adalah deja vu. Tahun 2016, saya sendiri yang diciduk paksa, dipukul, dan diangkut ke Polresta Bandar Lampung. Malam itu, saya menginap, bukan karena kejahatan, tapi karena menyuarakan sesuatu yang tak ingin didengar penguasa. Saya mengira luka itu sudah sembuh, ternyata hanya tertidur. Malang membangunkannya lagi.
Malang, Kota yang Tak Pernah Belajar
Malang bukan sekadar tempat. Ia adalah monumen ingatan atas kekerasan negara yang tak kunjung diadili. Dua tahun lalu, stadion Kanjuruhan menjadi saksi kebengisan yang tak terlupakan: gas air mata ditembakkan membabi buta ke tribun, ratusan nyawa melayang, dan hingga kini, keadilan hanya sebatas ilusi.
Hari ini, kita melihat pola yang sama. Aparat masih tetap represif. Seolah-olah mereka tidak pernah mendengar nama-nama yang tewas di Kanjuruhan, seolah-olah tragedi itu hanya insiden kecil dalam buku pedoman mereka.
Mereka yang bertahan hidup dari malam Kanjuruhan masih membawa trauma. Yang hari ini dipukul di jalanan Malang, akan membawa ingatan itu seumur hidup. Dan kita tahu betul, negara ini tidak akan pernah meminta maaf.
Militerisasi dan Repetisi Kekerasan
Aksi ini menolak UU TNI yang baru disahkan Kamis lalu, sebuah kebijakan yang dianggap semakin meluaskan peran tentara dalam urusan sipil. Ironisnya, penolakan ini justru dijawab dengan kekerasan yang seolah membenarkan ketakutan para demonstran: bahwa demokrasi di negeri ini bukanlah hak, melainkan toleransi yang sewaktu-waktu bisa dicabut.
Kekerasan terhadap mahasiswa bukan fenomena baru. Namun, represivitas ini kini naik level—jurnalis dan paramedis pun jadi sasaran. Dulu, pers dianggap sebagai pilar demokrasi, kini ia adalah saksi yang harus dibungkam. Medis yang seharusnya netral, diperlakukan seolah musuh negara. Bahkan sebagian demonstran dikabarkan hilang kontak.
Negara yang Selalu Gagal Belajar
Reformasi 1998 menjanjikan demokrasi, tapi negara ini tampaknya selalu gagal belajar. Dari Semanggi, Trisakti, Kanjuruhan, hingga Malang, satu hal tetap sama: kekerasan sebagai jawaban tunggal atas perlawanan.
Saya menulis ini bukan hanya sebagai jurnalis, tapi sebagai seseorang yang pernah menjadi bagian dari massa aksi, yang pernah merasakan tangan aparat menghantam tubuh, yang pernah tahu bagaimana rasanya menjadi “ancaman” hanya karena bersuara.
Pertanyaannya, sampai kapan kita harus menerima ini? Sampai kapan daftar luka ini terus bertambah? Dan sampai kapan negara ini terus menambah musuh dari rakyatnya sendiri?
Kalau Malang tak cukup membuka mata, mungkin kita memang sudah buta.(*)