Pramoedya.id: “Lumbung padi bukan jaminan kenyang.” Kalimat ini terasa sangat tepat untuk menggambarkan kondisi Provinsi Lampung pada pertengahan 2025. Produksi padi sedang tinggi-tingginya, panen raya terjadi sejak awal tahun, bahkan Lampung mencatat surplus lebih dari 700 ribu ton beras. Tapi yang terjadi di pasar justru sebaliknya, harga beras terus naik.
Beras premium kini dijual hingga Rp17.000 per kilogram, dan beras medium mencapai Rp15.000/kg. Padahal ini terjadi di tengah musim panen yang melimpah. Apakah ini hanya karena mekanisme pasar? Atau ada yang tak beres di balik sistem pangan kita? Mari sedikit kita ulas.
Panen Raya, Harga Tetap “Meroket”
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, sepanjang Januari hingga April 2025, produksi gabah kering giling mencapai 1,37 juta ton. Bila dikonversi menjadi beras, ini setara dengan 788 ribu ton, sementara kebutuhan konsumsi beras warga Lampung dalam setahun hanya sekitar 284 ribu ton.
Artinya, Lampung kelebihan beras hampir tiga kali lipat dari yang dibutuhkan. Tapi kelimpahan itu tidak menurunkan harga di pasar. Di sejumlah titik di Bandar Lampung, harga terus merangkak naik, termasuk beras subsidi pun hanya tersedia terbatas.
Bukan Lagi Soal HET
Banyak yang menyangka harga beras di Lampung melampaui HET (Harga Eceran Tertinggi). Tapi perlu diluruskan. Pada 2025, HET untuk beras premium di zona Lampung adalah antara Rp15.400–Rp15.800/kg, dan untuk medium Rp12.500/kg. Jadi, harga premium yang kini menyentuh Rp15.500/kg sebenarnya masih dalam batas wajar yang diatur pemerintah.
Namun tetap saja, harga ini berat di kantong masyarakat. Apalagi jika dilihat dari kenaikan harga dalam dua tahun terakhir. Sebagian warga bahkan mengeluh bahwa harga beras subsidi jenis SPHP yang seharusnya murah juga mulai langka dan naik jadi Rp12.500/kg, nyaris setara dengan HET beras medium.
Subsidi Kayak “Hantu”
SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) adalah program beras subsidi yang disalurkan oleh Bulog untuk menjaga harga tetap terjangkau. Tapi dalam praktiknya, SPHP kini sulit ditemukan di pasar tradisional. Distribusinya terbatas, bahkan ada laporan soal dugaan pengoplosan beras SPHP menjadi premium yang kemudian dijual dengan harga lebih mahal.
Akibatnya, program subsidi gagal menstabilkan pasar, dan masyarakat kecil kehilangan akses terhadap beras murah. Beras SPHP yang seharusnya jadi benteng terakhir, malah menghilang dari peredaran atau dimanfaatkan oleh pelaku usaha nakal.
Petani “Buntung”?
Di sisi lain, para petani padi justru tidak menikmati dampak positif dari harga yang tinggi. Banyak petani menjual gabah (padi kering) langsung setelah panen karena tidak memiliki alat pengering, gudang, atau akses ke penggilingan. Harga gabah di tingkat petani memang sempat menyentuh Rp6.500–Rp8.200/kg, tapi itu belum tentu menjamin keuntungan besar. Pemerintah sesungguhnya sudah usaha dengan beragam cara namun fakta di lapangan saat ini petani masih antara untung dan bunting. Sedangkan konsumen dipaksa merogoh kantong dalam unruk membeli pangan utama. Kenaikan ongkos produksi, mulai dari pupuk, BBM, sewa alat panen pun membuat margin petani tetap tipis. Yang menikmati nilai tambah terbesar justru adalah penggilingan besar dan distributor.
Pasar yang Dikuasai
Salah satu akar masalahnya adalah struktur distribusi beras yang tidak merata. Di Lampung, pasar beras dikuasai oleh sedikit pelaku usaha besar yang memiliki penggilingan, gudang, hingga akses ke jaringan ritel dan pasar luar provinsi. Dalam struktur seperti ini disebut oligopoli, sejumlah pemain besar bisa mengendalikan suplai dan harga pasar.
Mereka bisa memilih menjual beras ke luar daerah jika lebih menguntungkan, atau menahan stok agar harga tidak turun. Dalam kondisi ini, hukum ekonomi klasik soal “banyak barang, harga turun” jadi tak berlaku. Yang mengatur harga bukan panen, melainkan kekuasaan atas distribusi.
Operasi Pasar Bukan Solusi
Kenaikan harga di tengah surplus ini menunjukkan bahwa produksi tinggi tidak otomatis berarti harga murah. Maka, solusi tidak cukup dengan operasi pasar atau larangan ekspor. Yang dibutuhkan seperti revisi dan evaluasi distribusi SPHP, agar tepat sasaran ke pasar rakyat, mendorong koperasi tani agar petani bisa menggiling dan menyimpan sendiri, transparansi harga gabah dan beras dari penggilingan hingga pengecer, penindakan terhadap pengoplos dan penyimpangan subsidi, dan pengawasan dari KPPU dan Satgas Pangan terhadap dominasi pasar
Surplus yang Tidak Membahagiakan
Lampung memang lumbung padi. Tapi jika beras tak bisa dibeli dengan harga layak, jika petani tetap tak berdaya, dan jika subsidi disalahgunakan, maka lumbung itu tak membawa kenyang. Ia hanya menjadi simbol dari sistem pangan yang tak berpihak pada rakyat.
“Kelimpahan pangan tak menjamin keadilan. Di tengah panen raya, dapur rakyat tetap gelisah, karena hasil panen tak sampai ke piring mereka.” (*)
.