Pramoedya.id: Dalam setiap pemerintahan, sebuah logo lebih dari sekadar gambar. Ia adalah wajah, simbol, sekaligus ikrar yang mewakili semangat kolektif, arah kebijakan, dan harapan publik. Identitas visual ini seharusnya hadir bukan hanya sebagai ornamen, melainkan sebagai penanda kesatuan, legalitas, dan arah ideologis sebuah daerah. Namun di Lampung, identitas itu seperti memiliki dua wajah, satu yang sah menurut hukum, dan satu lagi yang masih terus digunakan seolah tak pernah diganti.
Logo Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung yang resmi hari ini mengusung semboyan “Sai Bumi Ruwa Jurai”, bukan lagi “Sang Bumi Ruwa Jurai.” Pergantian ini bukan tanpa dasar. Pemerintah menetapkannya dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Lampung Nomor 4 Tahun 2009, yang diteken pada masa Gubernur Sjachroedin ZP.
Dalam dokumen resmi perda itu, dijelaskan alasan perubahan secara eksplisit. Salah satunya menyebut bahwa kata “Sang” tidak dapat lagi dipertahankan, karena tidak memiliki landasan makna yang kuat dalam konteks semangat kesatuan masyarakat adat di Lampung. Sebagai gantinya, digunakanlah “Sai” yang dalam bahasa Lampung berarti “satu”untuk menegaskan persatuan dua jurai adat besar: Saibatin dan Pepadun.
Desain logo juga diperbarui. Siger sebagai mahkota budaya digambar ulang lebih rinci, payung agung diposisikan lebih kokoh, dan lambang lada serta padi diberi makna yang lebih tajam: kedaulatan pertanian rakyat. Semboyannya pun menjadi lebih selaras dengan semangat otonomi daerah dan identitas Lampung yang majemuk. Namun 16 tahun sejak peraturan itu disahkan, wajah resmi Pemerintah Provinsi Lampung asing dengan logo baru.
Lebih Akrab dengan Logo Lama
Meski perda sudah berlaku lebih dari satu setengah dekade, logo lama masih digunakan secara luas. Bukan hanya di kantor-kantor kecil atau papan nama kelurahan, tapi juga pada dokumen resmi, backdrop acara pemerintah, seragam ASN, hingga postingan media sosial pejabat tinggi daerah.
Pengecekan sederhana bisa dilakukan lewat akun Instagram para pejabat Pemprov. Banyak di antaranya masih menggunakan logo lama dengan semboyan “Sang Bumi Ruwa Jurai.” Di lapangan, bed pegawai yang dikenakan Aparatur Sipil Negara (ASN) juga mayoritas masih menggunakan desain usang itu. Bahkan saat penulis menelusuri baliho-baliho kegiatan pemerintahan di ruas jalan utama Bandar Lampung, logo versi lama masih tampil lebih dominan.
Pertanyaannya, mengapa ini bisa terjadi? Apakah ini sekadar kelalaian? Atau justru ketidaktahuan?
Yang ironis, fenomena ini terjadi juga di level tertinggi. Gubernur Rahmat Mirzani Djausal dan Sekretaris Daerah Marindo Kurniawan, misalnya, mereka tampak lebih akrab dengan penggunaan logo versi lama. Padahal, di era mereka, Pemerintah Provinsi membatasi penggunaan wajah-wajah pejabat di ruang publik, melalui Surat Edaran (SE) Nomor 131 Tahun 2025 ang diteken Sekdaprov pada 24 Juli 2025. Aturan ini mengacu pada SE Mendagri Nomor 000.9.3.3/6674/SJ, yang meminta daerah untuk menertibkan visual reklame dan baliho pemerintahan.
Logika sederhananya, Jika wajah pejabat ditiadakan, maka logo pemerintah pasti akan lebih sering muncul di spanduk, backdrop, dan baliho. Artinya, seharusnya penggunaan logo harus sudah benar dan sesuai perda.
Antara Perda dan Realita
Masalahnya bukan sekadar salah cetak atau keliru desain. Ini menyangkut implementasi kebijakan publik yang sangat mendasar. Sebuah Perda adalah produk hukum yang mengikat seluruh lapisan birokrasi. Jika tak ditaati, maka keabsahan administrasi bisa ikut dipertanyakan.
Kalau pakai logika formalistik, bisa saja kita anggap dokumen resmi Pemprov selama ini yang memakai logo lama dianggap cacat prosedur lantaran tidak mematuhi perda.
Memang, perubahan identitas visual tak bisa dilakukan dalam semalam. Butuh anggaran untuk mengganti papan nama, mencetak ulang dokumen, bahkan seragam. Tapi 16 tahun bukan waktu yang sebentar. Bahkan perubahan nama ibu kota negara saja, dari Jakarta ke Nusantara, sudah berjalan lebih sistematis.
Lebih dari itu, masalah ini juga memperlihatkan lemahnya political will dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. Sejak Gubernur Ridho Ficardo, Arinal Djunaidi, hingga kini Rahmat Mirzani Djausal, tak ada upaya tegas untuk membersihkan jejak visual masa lalu yang sudah tidak sah.
Mirza-Jihan Harus Tahu
Meski tidak masuk akal, Gwaa mencoba beranggapan Mirza-Jihan tidak tahu secara utuh Perda tersebut. Apalagi diberi tahu oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mestinya mereka tahu. Dengan begitu Pemerintahan Mirza–Jihan, yang masih baru ini, punya kesempatan untuk memperbaiki kekacauan ini. Menertibkan logo berarti menguatkan otoritas.
Jangan sampai publik berpikir “Yang resmi saja diabaikan, apalagi yang tidak tertulis ketika kampanye.”
Catatan: Penulis menulis ini berdasarkan riset dan fakta di lapangan. Penulis juga sudah mencoba cari sana sini terkait revisi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Lampung Nomor 4 Tahun 2009 dan hasilnya tidak ditemukan. Artinya secara legal penggunaan logo Pemprov Lampung masih berpayung pada Perda tersebut. (*)







