Pramoedya.id: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung mencatat penurunan signifikan dalam jumlah penduduk miskin. Per Maret 2024, jumlah warga miskin di provinsi ini tercatat sebanyak 941.230 orang, turun lebih dari 52 ribu jiwa dibandingkan periode sebelumnya.
Angka tersebut setara dengan 10,69 persen dari total populasi Lampung. Sebagai perbandingan, pada Maret 2023, tingkat kemiskinan masih berada di angka 11,11 persen, atau 970.670 orang. Artinya, dalam satu tahun, sekitar 29.440 jiwa berhasil keluar dari garis kemiskinan. Bila dibandingkan dengan September 2022, penurunan mencapai 54.420 jiwa.
Kepala BPS Lampung, Dody Herlando, menjelaskan bahwa tren penurunan ini tetap terjadi meski garis kemiskinan meningkat. Garis kemiskinan yang mencerminkan kebutuhan minimum seseorang untuk hidup layak, pada Maret 2024 naik menjadi Rp592.624 per kapita per bulan. Naik 6,66 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.
“Ini berarti, meskipun standar garis kemiskinan naik, daya beli masyarakat, khususnya kelompok terbawah, juga meningkat,” kata Dody melalui rilis persnya, Jumat (25/7/2025).
Namun, penurunan itu tidak terjadi merata di seluruh wilayah. BPS mencatat kemiskinan di daerah perdesaan Lampung masih jauh lebih tinggi dibanding perkotaan. Pada Maret 2024, kemiskinan di perkotaan tercatat 7,91 persen, sedangkan di perdesaan mencapai 12,04 persen.
Kesenjangan ini turut tercermin dari jumlah penduduk miskin sebesar 239,47 ribu jiwa di wilayah perkotaan, dan 699,81 ribu jiwa di perdesaan.
Menurut Dody, faktor penyumbang utama penurunan angka kemiskinan adalah naiknya pendapatan kelompok rentan, terkendalinya inflasi, serta program perlindungan sosial yang relatif tepat sasaran. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa ketimpangan antara desa dan kota perlu jadi perhatian serius.
“Penanganan kemiskinan tidak bisa dipukul rata. Karakteristik kemiskinan di desa dan kota berbeda, dan perlu pendekatan yang kontekstual,” tambahnya.
Lampung tercatat konsisten menurunkan angka kemiskinan dalam sepuluh tahun terakhir. Pada Maret 2015, tingkat kemiskinan masih di angka 14,35 persen. Sejak itu, trennya terus menurun, meski sempat stagnan pada masa pandemi.
BPS mencatat, dalam rentang Maret 2023 hingga Maret 2024, kontribusi pengeluaran untuk makanan dalam total garis kemiskinan turun tipis menjadi 74,65 persen, dari sebelumnya 74,91 persen. Ini menunjukkan bahwa sebagian pengeluaran rumah tangga miskin mulai bergeser ke kebutuhan non-makanan seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
“Ini sinyal bahwa penduduk miskin mulai punya ruang untuk kebutuhan lain, meski secara nominal belum besar,” tutup Doddy. (*)