Kuliah untuk DPR: Mundur ke Era yang Kita Kubur

- Editor

Kamis, 20 Maret 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Dewan yang terhormat, izinkan saya, generasi reformasi yang baru belajar alfabet saat krisis moneter 1998 terjadi, memberi sedikit kuliah sejarah. Mungkin, bagi Anda yang lebih suka ketukan palu daripada membaca buku sejarah, perlu diingatkan lagi apa itu dwifungsi ABRI dan kenapa konsep itu akhirnya dikubur dalam-dalam di awal reformasi.

Pramoedya.id: Anda mungkin berpikir ini hanya ocehan anak muda yang baru belajar kencing. Tapi tenang, saya tidak akan memulai dengan tagar-tagar yang biasa Anda anggap angin lalu. Kita bahas sejarah, sesuatu yang seharusnya Anda pahami sebelum mengetuk palu untuk keputusan besar.

Tahun 1998, saya baru tiga tahun. Kegiatan saya mungkin masih belajar ngomong “bapak” dan “mamak,” sementara di luar sana Jakarta sedang panas. Krisis moneter menghajar Asia Tenggara, dan Indonesia termasuk yang paling babak belur. Rupiah terjun bebas, harga kebutuhan pokok melonjak, dan rakyat turun ke jalan dengan amarah membuncah.

Di tengah kekacauan itu, militer — yang saat itu masih bernama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) — turun tangan bukan hanya sebagai pengaman, tapi juga penentu kebijakan. Sebabnya sederhana: mereka punya dwifungsi — kekuatan tempur sekaligus kekuatan politik. Mereka ada di parlemen, birokrasi, sampai perusahaan negara. Di mana-mana, pokoknya. Seperti garam yang tumpah di dapur, sulit dibedakan mana yang perlu dan mana yang berlebihan.

Ketika mahasiswa meregang nyawa di Trisakti, ketika ibu-ibu menangis mencari anaknya yang hilang di Semanggi, ketika toko-toko dijarah dan dibakar, militer bukan cuma menertibkan, tapi juga memerintah. Saat itulah kita sadar: dwifungsi ABRI lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.

Gus Dur dan Keberanian Mengubur Dwifungsi

Saat Gus Dur berkuasa, beliau bukan cuma presiden yang nyentrik dan suka blak-blakan. Dia presiden yang berani memutus warisan beracun Orde Baru: dwifungsi ABRI. Gus Dur melihat bahwa militer harus kembali ke barak, fokus menjaga pertahanan negara, bukan mengurusi sipil.

Pada tahun 2000, TAP MPR No. VI/MPR/2000 menegaskan pemisahan Polri dari ABRI, mengakhiri dominasi militer dalam urusan sipil. Ini langkah besar dalam reformasi, Gus Dur melihat militer terlalu kuat sebagai ancaman bagi demokrasi. Empat tahun kemudian, UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI resmi mengukuhkan perubahan itu, menegaskan militer sebagai alat pertahanan negara, bukan aktor politik.

Jalan Mundur ke Era yang Kita Kubur

Namun kini, RUU TNI yang baru menawarkan potensi reinkarnasi dwifungsi. Ada 14 lembaga yang bisa diisi prajurit TNI aktif jika RUU ini disahkan. Inilah daftarnya:

1. Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara

2. Kementerian Pertahanan (termasuk Dewan Pertahanan Nasional)

3. Kementerian Sekretariat Negara

4. Sekretariat Militer Presiden

5. Badan Intelijen Negara (BIN)

6. Badan Siber dan Sandi Negara

7. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas)

8. Badan Search and Rescue Nasional

9. Badan Narkotika Nasional (BNN)

10. Mahkamah Agung (MA) 

11. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)

12. Badan Penanggulangan Bencana (BNPB)

13. Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT)

14. Badan Keamanan Laut (Bakamla)

Saya tidak meragukan kapasitas prajurit kita. Tapi mari tanya lagi: jika militer diizinkan kembali menempati posisi strategis sipil, apa bedanya dengan konsep dwifungsi ABRI dulu? Apa jaminannya bahwa militer tidak akan memperluas pengaruh politiknya seperti masa lalu? Dan apakah kita siap menerima konsekuensinya?

Kalau ada yang bilang sejarah adalah cermin, mungkin perlu diganti: sejarah adalah kaca spion. Kecil, tapi penting. Kalau Anda malas menoleh ke belakang, bisa saja menabrak hal yang sama. Mari berhenti main-main dengan kekuatan militer dalam urusan sipil. Ini bukan soal anti-militer atau tidak cinta TNI. Ini soal menjaga batas-batas sehat antara ranah pertahanan dan pemerintahan sipil.

Dewan yang terhormat, kami mungkin generasi yang tumbuh dengan PlayStation dan meme-meme receh. Tapi kami cukup sadar bahwa kekuasaan tanpa kendali adalah bahaya. Jangan sampai Anda yang duduk nyaman di kursi parlemen justru lupa: sejarah memang bisa berulang, tapi jika yang terulang adalah kesalahan, siapa yang patut disalahkan?(*)

Berita Terkait

Korban Nyata dan Tindakan Klise Pelindo
Prabowo Hapus Kuota Impor, Gebrakan atau Ancaman?
Indonesia-Palestina: Ketika Omon-omon Mengusir Ingatan Sejarah
Jumbo dan Mimpi Indonesia untuk Tidak Sekadar Jadi Penonton
Deforestasi dengan Dalih Masa Depan Hijau: Sebuah Ironi di Papua
Sekolah Rakyat: Kelas Sosial di Ruang Kelas
SMK: Jalan Pintas ke Dunia Kerja atau Jalan Buntu?
Malang dan Ingatan yang Tak Pernah Sembuh

Berita Terkait

Rabu, 23 April 2025 - 14:58 WIB

Korban Nyata dan Tindakan Klise Pelindo

Sabtu, 19 April 2025 - 12:56 WIB

Prabowo Hapus Kuota Impor, Gebrakan atau Ancaman?

Minggu, 13 April 2025 - 19:10 WIB

Indonesia-Palestina: Ketika Omon-omon Mengusir Ingatan Sejarah

Sabtu, 12 April 2025 - 19:01 WIB

Jumbo dan Mimpi Indonesia untuk Tidak Sekadar Jadi Penonton

Rabu, 9 April 2025 - 23:28 WIB

Deforestasi dengan Dalih Masa Depan Hijau: Sebuah Ironi di Papua

Berita Terbaru

Ketua PMII Bandar Lampung, Dapid Novian Mastur, ketika menyampaikan sambutan. Foto: Luki

Bandarlampung

PMII Balam Siapkan Pemimpin Muda untuk Bangun Daerah Lewat PKL

Rabu, 23 Apr 2025 - 23:17 WIB

Foto: ilustrasi

Perspektif

Korban Nyata dan Tindakan Klise Pelindo

Rabu, 23 Apr 2025 - 14:58 WIB