“Siapa yang menguasai masa lalu, menguasai masa depan.”
– George Orwell, 1984
Pramoedya.id: Bayangin lo punya kenangan buruk. Dipukulin, dituduh, dipermalukan. Lalu suatu hari, tetangga lo datang dan bilang,
“Udahlah, kamu salah ingat. Yang nyakitin kamu itu sebenarnya penyelamat.”
Kira-kira begitu rasanya hidup di negara yang sejarahnya lagi mau ditulis ulang. Bedanya, yang jadi tetangga di sini adalah para elite politik. Dan yang dipaksa lupa itu kita semua.
Di novel 1984, George Orwell ngenalin kita ke Ministry of Truth. Sebuah lembaga yang kerjanya ngapus-ngapus sejarah, terus bikin versi baru yang lebih cocok buat partai. Pokoknya, masa lalu bisa diedit asal masa depan tetap dalam genggaman.
Terdengar seperti fiksi? Mungkin. Tapi Indonesia 2025 bikin fiksi itu terasa macam berita sore.
Sejarah Disulap, Korban Dianggap Ngibul
Kekinian, elite negeri lagi rame-rame dorong penulisan ulang sejarah. Katanya sih “pelurusan sejarah nasional”. Tapi yang nyuruh orang-orang yang dulu justru bagian dari sejarah yang bikin orang trauma.
Ya gimana, yang ngedit sejarahnya malah yang punya masalah sama isi ceritanya.
Peristiwa macam 1965, Talangsari, sampai penculikan aktivis, semua mulai diceritain ulang. Yang dulu disiksa, sekarang dibilang “terlalu radikal.” Yang ngejar, ngilangin, bahkan nembakin orang, disebut “pahlawan penyelamat bangsa.”
Narasi ini bukan lagi revisi sejarah. Ini remake. Pakai aktor lama, tapi dengan pencitraan baru.
Dulu Big Brother, Sekarang Big Narasi
Di novel 1984, ada tokoh yang enggak pernah muncul tapi selalu hadir: Big Brother. Sosok simbolik yang kerjanya ngintip, ngawasin, dan ngontrol pikiran rakyat lewat propaganda. Rakyat disuruh percaya dua hal yang nggak mungkin ketemu. Kayak: Perang adalah damai. Kebebasan adalah perbudakan. Ketidaktahuan adalah kekuatan.
Di Indonesia, kita mulai diajak percaya hal yang sama absurdnya: Melupakan masa lalu adalah kedewasaan. Korban harus move on. Pelaku sudah berjasa.
Kita enggak butuh alat sadap buat ngintip isi kepala rakyat. Cukup atur kurikulum, sebar konten nasionalisme selebgram, dan jadikan media sebagai corong satu arah.
Di sini, kebenaran hari ini ditentukan oleh siapa yang pegang panggung, bukan siapa yang punya ingatan.
Disuruh Lupa, Padahal Luka Masih Basah
Orang bilang bangsa ini gampang lupa. Namun kadang lupa itu bukan lantaran pikun, tapi karena terlalu sering disuruh diam.
“Jangan buka luka lama.”
“Sudah selesai lewat rekonsiliasi.”
“Kita harus bersatu.”
Narasi-narasi yang tampak sejuk, padahal isinya racun. Soalnya kalau rekonsiliasi nggak dimulai dari ngaku salah, ya itu namanya bukan damai, tapi akal-akalan.
Rakyat yang diminta melupakan, padahal sejarahnya belum pernah diselesaikan. Luka belum kering, tapi udah dipoles biar kelihatan rapi. Mirip rumah penuh rayap tapi baru dicat doang.
Ngakalin Sejarah, Nggak Bikin Pintar
George Orwell nulis: “Cara paling efektif untuk menghancurkan suatu bangsa adalah dengan menyangkal dan menghapus pemahaman mereka atas sejarahnya sendiri.”
Itu udah kejadian. Kalau yang nulis sejarah adalah mereka yang pernah nindas, maka kita akan tumbuh dalam dongeng, di mana pelaku jadi pahlawan, korban jadi pengganggu, dan rakyat cuma jadi penonton.
Para intelektual boleh sibuk ngajar, nulis buku, atau main safe. Tapi kalau semua diam waktu sejarah dipretelin, jangan kaget kalau nanti cuma buzzer yang dikutip di buku pelajaran. Sebab, generasi selanjutnya berpotensi belajar sejarah dari buku paket yang lebih mirip brosur kampanye ketimbang catatan perjuangan.
1984 Itu Novel, Tapi Indonesia Bikin Versi Nyata
1984 bukan cuma fiksi, tapi juga alarm bagi kita semua. Selama belum telat, siapa pun yang masih punya akal, ya silakan bersuara. Kalau enggak sekarang, nanti sejarah akan bicara, tapi tanpa kita di dalamnya
Sekarang, kita hidup di negeri yang narasinya dikendalikan. Di mana kata “lupa” jadi alat kekuasaan. Yang ingat malah dicurigai, dan yang nulis ulang sejarah malah disanjung.
Kalau kita enggak bersuara sekarang, sejarah akan terus ditulis tanpa kita. Dan nanti, ketika anak cucu bertanya, “Kenapa semua ini bisa terjadi?” Kita enggak bisa jawab apa-apa. Karena ingatan kita udah disabotase sejak awal.
Kata Pramoedya, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Tapi kalau yang nulis sejarahnya orang yang pengen abadi di kekuasaan, ya abadi yang kita dapat cuma ilusi.
Selamat datang di negeri dongeng. Tokohnya itu-itu aja, ceritanya ganti terus.(*)