#KaburAjaDulu, Alternatif di Tengah Pesimisme 

- Editor

Minggu, 16 Februari 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi.

Ilustrasi.

Pramoedya.id: Belakangan ini, tagar #KaburAjaDulu ramai di media sosial. Isinya penuh dengan curhatan anak muda yang ingin hengkang dari Indonesia. Bukan untuk liburan atau studi, tapi benar-benar mencari kehidupan yang lebih manusiawi di negeri orang. Jika dulu merantau itu keren, sekarang levelnya naik menjadi kabur itu lebih waras.

Alasannya sederhana,hidup di Indonesia seperti main game dengan mode tersulit. Lapangan kerja sempit, gaji minimalis, harga kosan terus melambung, tapi jalanan tetap macet dan sinyal internet masih sering hilang di tengah rapat online.

Beban biaya hidup terus meningkat, sementara kenaikan upah selalu tertinggal jauh di belakang inflasi. Banyak pekerja yang sudah bekerja bertahun-tahun tetap berstatus kontrak tanpa kejelasan masa depan.

Media sosial pun tak memberi hiburan, malah dipenuhi berita korupsi, politik yang semakin absurd, dan influencer pamer gaya hidup ala sultan. Rasanya seperti ditampar realitas setiap kali membuka timeline. Sementara itu, mereka yang duduk di kursi kekuasaan terus mengklaim bahwa ekonomi baik-baik saja, bahwa masyarakat hanya perlu bersabar.

“Lah, kok gitu doang nyerah?” komentar mereka yang hidupnya lebih nyaman. Jawabannya: “Ya iyalah!” Kalau ada negara yang menawarkan gaji lebih tinggi, transportasi yang manusiawi, layanan kesehatan yang terjangkau, serta peluang berkembang lebih luas, kenapa harus memaksakan diri bertahan? Nasionalisme bukan berarti harus rela hidup sengsara.

Namun, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia punya pandangan lain. Ia menyebut mereka yang ingin ke luar negeri itu tidak nasionalis. Definisi nasionalisme kita tampaknya perlu direvisi. Bagi generasi muda, nasionalisme bukan sekadar tetap tinggal di tanah air, tapi bagaimana negara bisa memberi mereka kesempatan hidup yang layak. Nasionalisme bukan sekadar larangan pergi, tapi juga tanggung jawab negara agar warganya tak merasa perlu pergi.

“Ah, Bahlil mah enak, Menteri. Uangnya banyak. Lah kita? Mau gini-gini aja tah? Bukan nabi, boy!” celetuk netizen di media sosial.

Apalagi, kehidupan di negeri ini semakin absurd. Kebijakan efisiensi anggaran yang diklaim demi Makan Siang Gratis (MBG) malah menyebabkan gelombang PHK. Kisah jurnalis TVRI Yogyakarta, Adhitya Putratama, yang kehilangan pekerjaannya setelah tujuh tahun mengabdi, menjadi simbol ketidakpastian. Videonya saat berpamitan dengan istri dan anaknya viral dan menyentuh banyak orang. Ia bukan satu-satunya korban. Ribuan pekerja lain di berbagai sektor kini menghadapi ancaman serupa.

Untungnya, dampak dari video tersebut membuat para kontributor TVRI, RRI, dan Antara batal di-PHK. Namun, ketidakpastian tetap mengintai mereka. Bertahun-tahun mengabdi, berharap diangkat negara, tapi malah ditelantarkan. Begitu juga dengan para tenaga honorer di berbagai sektor, yang tanpa kejelasan status kerja, digaji rendah, dan sewaktu-waktu bisa kehilangan pekerjaan.

Bagaimana dengan sektor lain? Pendidikan? Jangan tanya. Cek saja berapa persen anggaran yang dipotong. Sementara janji reformasi pendidikan terus didengungkan, realitas di lapangan masih jauh dari harapan.

Mahasiswa harus berjuang dengan biaya pendidikan yang semakin mahal, sementara kualitas pendidikan tak banyak berubah. Para guru honorer pun tak kunjung mendapatkan kesejahteraan yang layak.

Sebelum sibuk menghakimi mereka yang ingin pergi, mungkin kita harus bertanya: “Apa yang bisa negara perbaiki agar mereka tetap mau tinggal?” Jika jawabannya hanya “harus lebih bersyukur,” maka wajar saja jika #KaburAjaDulu jadi pilihan terbaik. (Luki) 

Berita Terkait

Ponten Siluman dan Rapor Merah Pendidikan
Uang Komite Sudah Dihapus, Tapi Dosa Lama Jangan Dikubur
Koperasi Merah Putih: Saat Koperasi Tak Lagi Milik Rakyat?
Desa Wisata Lampung di Persimpangan Potensi dan Tantangan
Cara Ikhlas Menjadi Miskin: Panduan Spiritual untuk Rakyat Biasa
Jejak Dalang di Tambang Ilegal Perbukitan Sukabumi
Eva Dwiana dan Politik Kambing Hitam di Tengah Genangan
Buying Time: Wacana Kontras Pemprov Lampung

Berita Terkait

Senin, 16 Juni 2025 - 21:08 WIB

Ponten Siluman dan Rapor Merah Pendidikan

Selasa, 10 Juni 2025 - 12:59 WIB

Uang Komite Sudah Dihapus, Tapi Dosa Lama Jangan Dikubur

Selasa, 10 Juni 2025 - 05:23 WIB

Koperasi Merah Putih: Saat Koperasi Tak Lagi Milik Rakyat?

Senin, 2 Juni 2025 - 17:19 WIB

Desa Wisata Lampung di Persimpangan Potensi dan Tantangan

Minggu, 1 Juni 2025 - 19:43 WIB

Cara Ikhlas Menjadi Miskin: Panduan Spiritual untuk Rakyat Biasa

Berita Terbaru

Foto: ilustrasi

Perspektif

Ponten Siluman dan Rapor Merah Pendidikan

Senin, 16 Jun 2025 - 21:08 WIB

Politik dan Pemerintahan

Edi Irawan Hibahkan Kantor Demokrat Lampung ke DPP

Minggu, 15 Jun 2025 - 17:19 WIB

LBH Dharma Loka Nusantara Desak Pemda Buat Perda Turunan UU TPKS

Hukum dan Kriminal

LBH Dharma Loka Nusantara Desak Pemda Buat Perda Turunan UU TPKS

Minggu, 15 Jun 2025 - 17:05 WIB