“Kami akan ciptakan 19 juta lapangan kerja!”
Kalimat itu rasanya belum lekang dari ingatan. Janji yang diulang-ulang oleh pasangan Prabowo-Gibran saat kampanye, disiarkan di televisi, disematkan di baliho, dan ditanamkan dalam benak jutaan pemilih.
Dan kini, janji itu tampaknya mulai ditepati. Jutaan lapangan kerja itu memang ada, hanya saja lokasinya bukan di kampung halaman, melainkan di negeri orang.
Pramoedya.id: Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, dalam pernyataan di Semarang, ia menyarankan masyarakat termasuk para lulusan kampus untuk segera mempertimbangkan kerja ke luar negeri.
“Ini bukan alternatif, ini pilihan utama,” ujarnya lugas saat meresmikan Migrant Center di Universitas Diponegoro, 27 Juni 2025.
Alasannya? Di Indonesia ada lebih dari 70 juta angkatan kerja yang belum terserap. Sementara itu, di luar negeri, terdapat 1,7 juta lowongan resmi yang menanti. Maka, kata Karding, mengapa tidak diberangkatkan saja?
Pemerintah pun kini giat membangun pusat-pusat migrasi di kampus, mendorong generasi muda untuk membuat akun di SISNAKER, belajar via Skillhub, dan menyiapkan diri menjadi entitas yang disebut “Pekerja Migran Unggulan”.
Pemerintah dan Romantisasi Narasi
Namanya pemerintah pasti selalu punya narasi atas setiap tindak tanduknya. Negara menyebut mereka “pahlawan devisa”, dan mengganti narasi “kabur” menjadi peluang emas. Bahkan saat tagar #KaburAjaDulu ramai di medsos sebagai ekspresi frustrasi terhadap pasar kerja lokal, Karding justru mengafirmasinya, lalu mengusulkan tagar versi resmi: #AyoKerjaKeLuarNegeri.
Narasi ini bener-bener nggak masuk di kepala gua. Harusnya yang diekspor itu produk lokal, bukan penduduk lokal. Sekarang, gua jadi makin paham mengapa Kementrian P2MI yang sebelumnya nggak pernah ada, muncul di kabinet hari ini.
Dalam dokumen visi misi Prabowo-Gibran 2024, disebut akan menciptakan lapangan pekerjaan: 4,5 juta lapangan kerja dari hilirisasi, 3,7 juta dari sektor digital, 3 juta dari penguatan UMKM, sisanya dari pertanian, infrastruktur, dan sektor lainnya.
Eh, rupanya salah hitung. Makanya lapangan kerja di negeri orang juga ikut dihitung, biar genap.
Sampai di sini, kita mulai melihat ada sesuatu yang melenceng. Janji besar soal pembangunan dalam negeri perlahan berubah arah. Alih-alih menyerap tenaga kerja, negara justru sibuk menyalurkan warganya ke luar negeri.
Distorsi dan Distribusi
Jika yang dibangun lebih dulu justru skema dan infrastruktur untuk mengirim rakyat bekerja ke luar negeri, bukan memperkuat daya serap di dalam negeri, maka jelas kita telah berputar balik dari cita-cita yang pernah diucapkan.
Pemerintah boleh berdalih ini adalah respons terhadap situasi global. Tapi tetap saja, saran untuk “kerja di luar negeri” sebagai solusi sistemik terhadap pengangguran dalam negeri, adalah pengakuan bahwa negara tak sanggup menyediakan masa depan yang layak di rumah sendiri.
Negara Mencari Pelarian
Mantan pejabat BUMN, Said Didu, menyebut pernyataan ini sebagai bentuk angkat tangan negara terhadap kewajiban dasarnya. “Itu bukan strategi, itu pelarian,” katanya dalam satu wawancara.
Dan benar. Saat rakyat didorong ke luar untuk bertahan hidup, nasionalisme kita berubah wujud. Orang-orang tak lagi bicara soal membangun kampung halaman, tapi bagaimana meninggalkannya dengan kepala tegak.
Bukan berarti kerja migran tidak mulia. Banyak warga kita yang berhasil mengubah hidup lewat kerja di negeri asing. Tapi ketika pemerintah menjadikannya pilihan utama, bukan karena prestasi pembangunan, melainkan karena ketiadaan opsi di dalam negeri, itu adalah bentuk kegagalan yang dibungkus dalam narasi positif.
Janji 19 juta lapangan kerja itu memang nyata. Hanya saja, sebagian besarnya bukan di pabrik dalam negeri, bukan di sawah yang ditanami padi, bukan di kantor teknologi milik negara. Melainkan di rumah jompo Jepang, apartemen Hong Kong, hingga ladang kelapa sawit Malaysia.(*)