Pramoedya.id: Kampus selalu digambarkan sebagai ruang intelektual yang bebas. Namun, realitas sering kali berkata lain. Alih-alih menjadi tempat tumbuhnya pemikiran kritis, kampus justru kerap berubah menjadi institusi yang membungkam kebebasan berpendapat. Pembubaran konsolidasi akbar mahasiswa di Universitas Lampung (Unila) adalah salah satu buktinya.
Konsolidasi akbar yang mereka rencanakan sebagai ruang membahas isu-isu sosial dan kebijakan Pemerintahan di era Prabowo yang tidak berpihak terhadap rakyat itu malah berakhir pembredelan.
Pihak kampus membubarkan acara dengan dalih tidak memiliki izin. Mahasiswa yang hendak masuk dihadang, yang sudah di dalam diminta keluar. Bahkan, beredar kabar bahwa aparat militer turut hadir, mengawasi dan mendokumentasikan jalannya acara, menciptakan suasana yang mencekam.
Apa yang terjadi di Unila ini terasa seperti deja vu. Jika kita mundur ke masa Orde Baru, praktik serupa terjadi dalam skala yang jauh lebih besar.
Kala itu, pemerintah menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) untuk meredam suara mahasiswa. Dewan Mahasiswa dibubarkan, organisasi yang dianggap terlalu vokal ditekan, dan aparat ikut campur dalam urusan akademik.
Perbedaan zaman memang ada, tetapi pola yang sama masih bisa kita lihat. Dalih administratif digunakan untuk membatasi gerakan mahasiswa. Saat Orde Baru, aturan kampus dan perangkat birokrasi menjadi alat represi.
Kini, alasan teknis seperti surat izin atau ketertiban sering kali dipakai untuk membungkam. Apakah ini hanya kebetulan? Atau memang ada semacam warisan Orde Baru yang masih lestari di tubuh birokrasi kampus? Lebih dari sekadar pembungkaman, kasus Unila mengindikasikan bahwa pihak kampus tidak lagi bertindak sebagai benteng kebebasan akademik, melainkan justru menjadi bagian dari struktur yang membatasi ekspresi mahasiswa.
Di era demokrasi, kita sering mendengar janji kampus adalah ruang netral. Tetapi apakah benar begitu? Di atas kertas, kebebasan akademik dijunjung tinggi. Kenyataannya, berbagai cara digunakan untuk membatasi ruang gerak mahasiswa.
Kasus Unila hanya satu dari banyak contoh bagaimana kampus yang seharusnya melindungi intelektualitas justru bertindak sebagai perpanjangan tangan kekuasaan.
Netralitas itu tampaknya lebih seperti mitos ketimbang realitas. Jika kampus benar-benar netral, mengapa aparat bisa masuk begitu mudah dan mengawasi mahasiswa yang hanya ingin berdiskusi? Mengapa pihak rektorat lebih memilih membungkam mahasiswa daripada melindungi hak-hak mereka?
Sejarah menunjukkan gerakan mahasiswa yang ditekan tak lantas hilang. Orde Baru mengira bisa membungkam mereka dengan NKK/BKK, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Gerakan bawah tanah berkembang, membangun jaringan lebih luas, hingga akhirnya menjadi salah satu faktor jatuhnya rezim itu sendiri.
Ketika kampus gagal menjadi ruang bebas untuk berpikir dan bersuara, mahasiswa akan mencari jalan lain, membangun resistensi dalam bentuk yang lebih sulit dikendalikan.
Rektor Unila, yang seharusnya menjadi penjaga kebebasan akademik, justru melanggar prinsip dasar pendidikan tinggi dengan membiarkan intervensi terhadap mahasiswa.
Pembubaran konsolidasi bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan juga bentuk nyata pengkhianatan terhadap hak-hak akademik. Jika nilai-nilai keilmuan benar-benar masih dijunjung di Unila, maka seharusnya rektor yang kini di Pimpin Lusmeilia Afriyani, bertanggung jawab dan mundur dari jabatannya.
Apa yang bisa kita pelajari dari semua ini? Pertama, dalih administratif untuk membubarkan diskusi adalah pola klasik yang terus berulang. Kedua, sejarah membuktikan setiap tekanan akan melahirkan perlawanan. Dan ketiga, jika kampus ingin tetap relevan sebagai pusat keilmuan, ia harus berdiri di sisi kebebasan akademik, bukan justru menjadi birokrasi yang tunduk pada tekanan eksternal.
Pertanyaannya sekarang adalah: apakah mahasiswa akan membiarkan pola lama terus berulang, atau mereka akan menolaknya? Jika kita belajar dari sejarah, jawaban dari pertanyaan ini seharusnya sudah jelas: Mahasiswa bakal melawan. (*)