Fitrianita Damhuri Dipaksa “Menelantarkan” Disaat Hari Nasional Anak

- Editor

Kamis, 24 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi

Ilustrasi

Pramoedya.id: Sehari setelah seremonial Hari Anak Nasional berlalu, Balai Keratun Kantor Gubernur Lampung kembali menjadi saksi bisu manuver klasik birokrasi. Sosok Fitrianita Damhuri, yang selama ini kita kenal sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), dinas yang selalu berhadapan dengan isu “panas” seperti kekerasan anak dan kaum minoritas seksual, tiba-tiba saja digeser ke posisi Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung. Sebuah perpindahan yang, jika dibaca dengan kacamata satiris, bukan hanya menimbulkan tanya, tapi juga gelak tawa getir.

Dari Mengurusi Trauma ke Mengatur Buku

Fitrianita, selama ini, adalah prajurit di medan tempur yang tak pernah sepi. Dinas PPPA adalah pos strategis yang selalu disorot kamera, berhadapan langsung dengan urusan hak anak, perempuan, hingga diskursus seputar LGBT yang sedang hangat-hangatnya. Memang tak ada yang bilang pekerjaan ini mudah, penuh intrik, tekanan moral, dan seringkali berakhir dengan dilema. Logika awamnya, di tengah isu-isu yang sedang menggelora, seorang pimpinan yang sudah paham “medan” seperti Fitrianita justru dipertahankan, atau bahkan diberi amunisi tambahan.

Tapi, apa daya, birokrasi punya logika sendiri. Tepat sehari setelah Hari Anak Nasional, ketika seharusnya narasi tentang perlindungan anak sedang kuat-kuatnya, justru sang “pengawal” anak-anak digeser. Apakah ini semacam sinyal bahwa isu anak sudah dianggap “beres” sehingga pimpinan bisa santai, atau justru ada prioritas lain yang lebih mendesak di mata pengambil kebijakan? Pertanyaan ini tentu saja hanya bisa dijawab dengan senyuman misterius dari para elite.

“Seksi” nya Sebuah Kursi: PPPA vs Perpustakaan

Mari kita bedah secara lugas: mana yang lebih “seksi” antara Dinas PPPA dan Dinas Perpustakaan?

Dinas PPPA itu ibarat bintang film yang selalu jadi pusat perhatian. Isu-isunya yang menyentuh nurani, kekerasan anak, kesetaraan gender, otomatis membuat anggarannya selalu dicermati, programnya diliput media, dan pejabatnya sering tampil sebagai “pahlawan”. Punya akses ke LSM, bisa menarik dana hibah, dan punya panggung politik yang kuat. Tentu saja, “keseksian” ini datang dengan risiko tinggi: tekanan publik, drama internal, dan kadang harus menelan ludah sendiri demi stabilitas.

Sementara itu, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan? Jujur saja, dinas ini sering dianggap sebagai “dinas kering,” semacam ruang tunggu bagi pejabat yang butuh “pendinginan.” Anggarannya mungkin tak semencolok dinas pembangunan, programnya kadang tak se-bombastis pencegahan kriminal. Panggungnya pun lebih banyak diisi diskusi buku atau pameran arsip yang audiensnya segmented. Singkatnya, bukan tempat yang “seksi” untuk tebar pesona dan cari popularitas instan.

Lalu, kenapa Fitrianita, yang sudah “cantik” di panggung PPPA, kini harus berkutat dengan tumpukan buku dan kertas tua?

 Setidaknya  Saat Ini Fitri Jadi Sekantor dengan Istri Gub

 Di sinilah analisis jadi sedikit “liar” dan menarik. Dalam tradisi birokrasi daerah, kedekatan dengan Istri Gubernur, yang sering diemban peran sebagai Bunda Literasi, bisa menjadi “jalur cepat” yang tak tertulis. Posisi Kepala Dinas perempuan, khususnya di dinas-dinas yang bersinggungan dengan program Istri Gubernur (seperti PPPA atau pendidikan), kerap jadi arena “kompetisi” terselubung untuk memperebutkan perhatian dan dukungan.

Nah, perpindahan Fitrianita ke Dinas Perpustakaan, sebuah dinas yang secara harfiah adalah “istana” dari Bunda Literasi, bisa jadi bukan sekadar rotasi biasa. Ini bisa dibaca sebagai hadiah tak langsung yang manis. Ia ditempatkan di garis depan agenda Istri Gubernur, memberikan akses yang lebih langsung dan intim pada pusat pengaruh informal. Bayangkan, dari mengurus drama keluarga dan isu LGBT yang berpotensi bikin pusing, kini ia bisa fokus pada dunia buku yang relatif lebih “damai” sambil tetap berada di lingkaran pengaruh utama.

Ini mungkin adalah taktik cerdik,  menggeser seorang pejabat berpengalaman dari medan berat ke posisi yang lebih strategis secara personal, sekaligus memanfaatkan kapasitasnya untuk mendorong agenda “Bunda Literasi.” Apakah ini bentuk penghargaan atas loyalitas dan kinerja? Atau justru penyaluran yang dibungkus dengan narasi “mendukung literasi”? Entahlah. Yang jelas, di balik setiap pergeseran kursi, selalu ada intrik dan kalkulasi yang tak pernah sepenuhnya transparan. (*)

 

Berita Terkait

Tata Ruang di Kavling Bos: Cerita Bangunan Haram Sultan Agung
Perselingkuhan Pemda Lamteng: Janji Pahit di Tengah Kebun Tebu
Silat Lampung di Ambang Senja, Kala Warisan Lokal Tercekik di Tanah Sendiri
Dari Kacamata Ferry Irwandi: Kasus Tom Lembong dan Absennya Niat Jahat
Ketika Indonesia Bikin Versi Nyata Novel 1984
Bernapas pun Salah: Dosa Laki-laki di Mata Narasi (Bukan Tulisan untuk Perempuan)
Di Balik Konferensi Pers: KIM dan Seni Menyulap Narasi
Lumbung Padi Tak Menjamin Kenyang, Anomali Harga Beras Meroket

Berita Terkait

Jumat, 25 Juli 2025 - 19:34 WIB

Tata Ruang di Kavling Bos: Cerita Bangunan Haram Sultan Agung

Kamis, 24 Juli 2025 - 22:22 WIB

Fitrianita Damhuri Dipaksa “Menelantarkan” Disaat Hari Nasional Anak

Rabu, 23 Juli 2025 - 11:26 WIB

Perselingkuhan Pemda Lamteng: Janji Pahit di Tengah Kebun Tebu

Sabtu, 19 Juli 2025 - 19:21 WIB

Silat Lampung di Ambang Senja, Kala Warisan Lokal Tercekik di Tanah Sendiri

Sabtu, 19 Juli 2025 - 16:25 WIB

Dari Kacamata Ferry Irwandi: Kasus Tom Lembong dan Absennya Niat Jahat

Berita Terbaru

Foto: ilustrasi

Perspektif

Tata Ruang di Kavling Bos: Cerita Bangunan Haram Sultan Agung

Jumat, 25 Jul 2025 - 19:34 WIB

Lampung

Wamen PANRB: RSUDAM Bantah Isu Miring dengan Kinerja Terbaik

Kamis, 24 Jul 2025 - 22:52 WIB

Lampung

Juleha Lampung Siap Sukseskan Halal Fun Walk 2025

Kamis, 24 Jul 2025 - 22:33 WIB