Pramoedya.id: Jumlah pesantren di Indonesia kini mencapai angka fantastis, lebih dari 42 ribu lembaga dengan 6,2 juta santri. Jumlah besar ini menuntut adanya tata kelola yang sistematis dan berkualitas, mengingat pesantren memiliki kekhasan fungsi yang berbeda dari lembaga pendidikan umum.
Kebutuhan mendesak inilah yang melandasi hadirnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren di Kementerian Agama.
Yusi Damayanti, Kasubdit Pendidikan Salafiyah dan Kajian Kitab Kuning, yang hadir mewakili Dirjen Pendidikan Islam pada Halaqah Penguatan Kelembagaan di UIN Raden Intan Lampung, Sabtu (15/11/2025), menegaskan bahwa Ditjen ini akan membawa kualitas baru dalam pola pelayanan pemerintah.
“Kehadiran Ditjen Pesantren akan membawa kualitas baru dalam pola pelayanan pemerintah, mulai dari tata kelola manajerial, regulasi, penguatan SDM, hingga kolaborasi dengan berbagai sektor pembangunan,” ujar Yusi melalui pers rilis yang diterima Pramoedya.id, Senin (17/11/2025).
Menurutnya, meski sudah ratusan tahun berdiri, baru sekarang negara benar-benar hadir untuk memperkokoh kemandirian pesantren melalui payung hukum yang kuat, seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019.
Yusi menjelaskan bahwa pembentukan Ditjen Pesantren sangat strategis karena hadir untuk menjembatani kesenjangan kelembagaan yang ada. Undang-Undang Pesantren menegaskan tiga fungsi utama lembaga ini: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
Tiga fungsi inilah yang membuat pesantren menjadi unik dan menuntut regulasi yang berbeda.
“Hampir seluruh kementerian dan lembaga sekarang mengundang Direktorat Pesantren untuk berkolaborasi, karena kita memiliki tiga fungsi yang menyentuh banyak sektor pembangunan,” katanya.
Kolaborasi tersebut kini nyata, mulai dari pembangunan dan rekonstruksi fisik pesantren yang tua bersama Kementerian PUPR, hingga penguatan tata kelola bersama Kemendagri dan pemerintah daerah. Bahkan, 80 pesantren tua telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Agama untuk menerima program renovasi dan rekonstruksi.
Kehadiran regulasi yang kuat ini juga merupakan apresiasi negara terhadap peran historis pesantren. Yusi menguraikan bahwa sepanjang abad ke-19, lebih dari seratus perlawanan terhadap penjajah dipimpin oleh kiai pesantren.
Puncak dari peran historis tersebut adalah dicetuskannya Resolusi Jihad oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.
“Revolusi jihad inilah yang membakar semangat anak bangsa. Untuk mengenang perjuangan para santri tersebut, tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Santri oleh Presiden Joko Widodo,” jelasnya.
Dengan landasan regulatif yang diperkuat dan momentum hadirnya Ditjen Pesantren, Yusi berharap kolaborasi pemerintah akan memastikan pesantren tetap menjadi pusat pendidikan Islam yang otoritatif, relevan, dan berdaya saing.
“Insyaallah, kehadiran Direktorat Jenderal Pesantren akan semakin memperkuat tata kelola pesantren di Indonesia dan membawa kualitas baru bagi masa depan pesantren,” tutupnya. (*)







