Setelah sempat bungkam, pihak Karang Indah Mall (KIM) akhirnya buka suara. Tapi alih-alih menjawab persoalan, mereka memilih mengalihkan cerita, bahwa semua ini bermula dari dua karyawan yang diduga berbuat asusila. Entah sejak kapan persoalan moral menjadi alasan sah menahan ijazah puluhan orang sejak tahun 2018. Entah sejak kapan skandal individu bisa menutupi jejak feodalisme berjamaah yang dilakukan atas nama sistem kerja.
Pramoedya.id: Di dalam ruang ber-AC Karang Indah Mall, di bawah sorotan lampu konferensi pers, sejumlah pengacara dari Palembang duduk rapi. Dengan wajah serius dan diksi yang dirancang hati-hati, mereka bicara soal “perbuatan asusila” dua mantan karyawan, audit tanggung jawab kerja, serta keprihatinan mereka atas viralnya isu penahanan ijazah. Tapi mari kita mulai dengan satu pertanyaan sederhana. Jika masalahnya hanya dua orang, mengapa ada puluhan ijazah yang ditahan sejak 2018?
Pertanyaan itu penting, sebab yang dibantah oleh KIM dalam konferensi pers bukan inti persoalan, melainkan dramatisasi pinggiran. Alih-alih menjawab persoalan penahanan dokumen pribadi milik eks karyawan yang jelas dilarang, pihak manajemen justru menebalkan narasi tentang moralitas timur, CCTV, dan skema tanggung renteng.
Kita perlu mengingat ulang satu fakta penting, Hartarto Lojaya bukan hanya pemilik Karang Indah Mall yang baru berusia delapan bulanan. Ia juga pemilik lama Mall Kartini yang kini diketahui sempat menahan ijazah puluhan eks karyawan sejak 2018, jauh sebelum dua sejoli yang dituding asusila itu menginjakkan kaki di KIM. Bahkan menurut testimoni yang diterima Pramoedya.id, skema penahanan ijazah dengan dalih tebusan telah berjalan bertahun-tahun dan menjangkiti kedua mall tersebut.
Jadi mari kita kesampingkan sejenak sinetron dua insan kantor. Mari bicara tentang sistem.
Feodalisme Baru dan Surat Pernyataan Bungkam
Dalam pengakuan para mantan karyawan, mereka diminta menandatangani surat pernyataan agar tidak menuntut perusahaan secara hukum demi bisa membawa pulang ijazah mereka. Bisa dibilang ini “perdamaian sepihak”. Dan dalam bahasa rakyat, ini tidak adil.
LBH Ansor, yang kini mendampingi sedikit nya 10 eks karyawan, mencium praktik sistemik yang jauh lebih gelap dari sekadar persoalan individu. Ini bukan konflik personal. Ini soal pengabaian sistematis terhadap hak pekerja.
Produk Tanpa Logo Halal dan BPOM Tempelan
Masalah KIM bukan hanya di meja HRD. Di etalase-etalase tenant, Pramoedya.id menemukan dugaan kuat pelanggaran hukum lain, produk-produk tanpa label resmi BPOM dan halal. Beberapa bahkan menggunakan logo BPOM yang ditempel manual, praktik yang berpotensi melanggar UU Perlindungan Konsumen dan UU Kesehatan, tapi juga menghina nalar publik.
Dan ya, dalam konferensi pers itu mereka mengaku telah melakukan verifikasi, dan tetap membuka peluang pihak lain ikut memverifikasi. Bahasa halus yang, kalau diterjemahkan, kira-kira berbunyi: “Silakan periksa kalau tidak percaya.”
Kita percaya. Tapi kita juga tahu bahwa menempel logo resmi secara manual di kemasan adalah tindakan yang bisa berujung penjara.
Gaji di Bawah UMR dan Audit Ala-ala
Pihak KIM bicara audit tanggung jawab sebelum ijazah dikembalikan. Logikanya seperti ini. Karyawan yang resign dianggap mungkin meninggalkan beban kerja yang belum selesai, maka perusahaan menahan ijazah sampai “audit selesai”. Tapi audit macam apa yang dilakukan tanpa kontrak penalti tertulis? Dan siapa yang mengawasi audit internal ini?
Sementara itu, gaji yang mereka bayarkan masih jauh di bawah UMR Kota Bandar Lampung. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini soal martabat kerja. Upah rendah adalah kekerasan ekonomi. Dan ketika dikawinkan dengan penahanan dokumen, ia menjelma jadi feodalisme bergincu hukum.
Nggak habis pikir. Karyawan Alfamart-Indomaret aja bisa menerima UMR penuh.
Bungkam Tak Sama dengan Selesai
Fakta bahwa sebagian besar ijazah dikembalikan hanya kepada mereka yang tidak menggunakan kuasa hukum menunjukkan satu hal, kekuasaan takut pada pendampingan hukum. Tapi bukan berarti pelanggarannya hilang begitu saja. Penebusan ijazah tetap terjadi. Upah tetap rendah. Dan produk yang diduga tidak sesuai standar tetap beredar.
Pemerintah, dalam hal ini Staf Khusus Kemenaker, bahkan sudah memberi peringatan keras, kalau tak ingin disegel seperti kasus di Surabaya, Jakarta dan Riau, segera benahi diri. Tapi tampaknya KIM lebih memilih memoles narasi, ketimbang memperbaiki fondasi.
Panggung Sudah Terang
Konferensi pers KIM barangkali dibuat untuk meredakan kebisingan. Tapi yang muncul justru daftar pertanyaan.
Kita paham, mall bukanlah kerajaan. Tapi jangan perlakukan karyawan secara tak layak. Jangan perlakukan publik seperti penonton yang bisa ditipu dengan pencitraan dan kata-kata manis. Fakta-fakta sudah di depan mata: penahanan ijazah, upah rendah, produk yang dipertanyakan, dan upaya pembungkaman hukum. Semua ini tidak bisa dijelaskan dengan satu-dua nama yang diadili moralitasnya.
Jika benar KIM ingin menjadi bagian dari kota pariwisata dan ekonomi rakyat, maka langkah pertama adalah menghormati hak dasar manusia. Bukan menyandera ijazah. Bukan menempel label palsu. Bukan membungkam laporan hukum.
Sebab yang dibutuhkan kota ini bukan mall 24 jam, tapi keadilan yang bekerja tanpa henti.(*)
Catatan: Tulisan ini disusun berdasarkan keterangan narasumber, dokumen, serta observasi lapangan yang telah diverifikasi redaksi. Semua pihak diberi ruang untuk memberikan klarifikasi lebih lanjut.