Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025. Seperti biasa, angka kemiskinan jadi bahan analisis, bahan rapat, dan kemudian jadi bahan pamer. Tapi yang bikin ramai tahun ini bukan sekadar berapa juta rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Melainkan: apa saja yang mereka makan.
Pramoedya.id: Menurut Susenas, penyumbang utama garis kemiskinan Indonesia adalah: Beras 21,06% di kota, 24,91% di desa. Rokok kretek filter 10,72% di kota, 9,99% di desa. Telur ayam ras 4,50% di kota, 3,62% di desa. Kopi sachet sekitar 2,3%. Mi instan sekitar 2,4% di kota, 2,1% di desa.
Narasi resminya: kemiskinan bukan hanya soal rendahnya pendapatan, tapi juga soal “pola konsumsi yang tidak tepat”. Dengan kata lain: masyarakat miskin itu salah belanja. Mereka miskin, karena tidak bisa mengatur diri. Bukan karena sistem ekonomi timpang, bukan karena upah murah, bukan karena harga pangan tinggi, tapi karena mereka masih beli nasi, telur, kopi sachet, dan tentu saja… rokok.
Dari sini kita bisa simpulkan satu hal penting: demi statistik, rakyat dilarang konsumsi nasi dan kopi.
Kalau Mau Miskin, Miskinlah yang Tertib
Mari kita uji logika ini. Nasi yang merupakan makanan pokok sejuta umat, ternyata penyumbang utama garis kemiskinan.
Jadi, jangan makan nasi, makanlah ubi panggang aromaterapi yang ditaburi rempah dari Maroko. Lokal, sehat, dan pastinya tidak dimakan rakyat biasa.
Rokok kretek filter, meskipun mengalirkan triliunan rupiah ke kas negara melalui cukai, tetap dicap biang keladi kemiskinan. Solusinya? Mungkin BPS bisa mengusulkan pembatasan konsumsi: “Rokok ini hanya untuk yang penghasilannya di atas UMR.”
Lalu kopi sachet. Yang harganya seribuan, yang dibeli warung demi warung, dan jadi teman begadang tukang ojek, buruh proyek, dan ibu rumah tangga. Kalau ini pun dianggap sumber masalah, rakyat disuruh ngopi pakai V60?
Telur ayam, sumber protein paling realistis buat kelas bawah, juga masuk daftar terlarang. Apakah rakyat miskin disuruh balik ke lauk garam?
Dan terakhir, mi instan. Makanan penyelamat tanggal tua. Cepat, murah, dan membuatmu merasa kenyang secara spiritual. Tapi negara tampaknya lebih suka rakyat miskin makan data mentah. Meski tidak bergizi, tapi bersih dari statistik.
Miskin Itu Gak Boleh Nikmat
Logika statistik ini, kalau dibaca lurus-lurus, akan menghasilkan satu pedoman hidup baru: Rakyat miskin boleh hidup, asal tidak menikmati hidup.
Nikmat itu komoditas mahal, dan dalam ekonomi kita, ia bukan hak semua orang. Jadi jika kamu miskin, sebaiknya: Jangan makan nasi (terlalu dominan dalam struktur konsumsi). Jangan beli rokok (nanti dimarahin negara). Jangan minum kopi sachet (itu bukan minuman, itu jebakan). Jangan makan telur (protein mewah). Jangan rebus mi instan (praktis tapi penuh dosa statistik).
Makanlah laporan tahunan. Seduhlah infografis. Kukuslah garis kemiskinan. Karena itu semua lebih menyehatkan buat rapor pemerintah.
Statistik Turun, Perut Tetap Kosong
Susenas boleh mencatat apapun. Tapi hidup rakyat tak bisa direduksi jadi tabel excel. Yang bikin rakyat miskin bukan karena mereka minum kopi sachet, tapi karena sistem ekonomi menyeduh ketimpangan sejak lama. Yang bikin lapar bukan mi instan, tapi upah yang tak pernah naik, sementara harga terus melayang.
Jadi jika pemerintah ingin mengurangi kemiskinan, bukan kopinya yang harus dihentikan, tapi kebijakan yang cuma menakar rakyat lewat angka, bukan lewat rasa kenyang.
Sebab di negeri ini, yang diminta puasa bukan pejabat, tapi rakyat.
Dan semua itu… demi statistik.(*)