Sepak bola mestinya soal emosi, sejarah, dan loyalitas. Tapi di Indonesia, kita tahu itu bisa juga soal seragam, jabatan, dan proyek besar yang datang tiba-tiba.
Pramoedya.id: Bhayangkara FC, klub yang dulu lebih sering tampil di papan atas klasemen ketimbang di kepala suporter, kini ganti nama, ganti rumah, dan mencoba peruntungan di Lampung dengan identitas baru: Bhayangkara Presisi Lampung FC. Apakah ini awal dari kebangkitan sepak bola Lampung, atau justru cara halus negara memindahkan panggung pencitraan?
Klub Tanpa Akar, Gelar Tanpa Sorak
Bhayangkara FC pernah jadi juara Liga 1 2017 dengan cara yang tak benar-benar menyalakan gairah publik. Meski memuncaki klasemen dan unggul head-to-head dari Bali United, gelar itu lebih sering dikenang karena kontroversi. Kemenangan walkover melawan Mitra Kukar yang membuat poin mereka menyamai Bali, serta keputusan PSSI yang mengutamakan aturan head-to-head ketimbang selisih gol. Bhayangkara juara, tetapi stadion tetap sunyi. Tidak ada konvoi, tidak ada tangis haru di tribun.
Itulah Bhayangkara, klub yang bertarung di kasta tertinggi tanpa benar-benar hadir di hati publik. Mereka berpindah-pindah kandang. Jakarta, Bekasi, Solo, serta Surabaya, pernah jadi markas. Tetapi tidak pernah menjadi rumah bagi siapa pun. Kini, Lampung menjadi destinasi berikutnya. Pertanyaannya: apakah ini rumah atau sekadar tempat persinggahan proyek institusional?
Dari Konflik Persebaya dan Persebaya 1927
Nama “Presisi” adalah jargon resmi institusi Polri: Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan. Sejak Bhayangkara dihidupkan kembali lewat warisan konflik dualisme Persebaya dan Persebaya 1927 di awal 2010-an, klub ini tak pernah lepas dari identitas sebagai milik kepolisian. Maka perpindahan ke Lampung tidak bisa dibaca sekadar langkah komersial, melainkan bagian dari perluasan simbolik kuasa negara.
Melalui sepak bola, institusi negara mencoba merawat citra, memperluas pengaruh sosial, dan menjangkau publik melalui cara yang lebih halus dari operasi keamanan. Stadion menjadi arena pencitraan, dan klub menjadi alat legitimasi. Dan seperti biasa, pemerintah daerah menyambutnya dengan karpet merah: janji renovasi stadion, anggaran promosi, hingga peran dalam mendekatkan klub dengan masyarakat lokal.
Lampung sebagai Rumah atau Proyek?
Lampung tak kekurangan talenta atau sejarah sepak bola. Dari PSBL Bandar Lampung, Persilamtim, hingga geliat suporter seperti SKULL, daerah ini punya akar. Tapi ketika Bhayangkara datang, ia datang dengan segala kemewahan struktur dan narasi negara. Klub ini jelas bukan bagian dari komunitas lokal, melainkan institusi yang dipindahkan dengan cara top-down.
Apakah publik Lampung akan menerimanya? Mungkin. Tapi penerimaan itu tak bisa dibeli hanya dengan promosi atau slogan. Bhayangkara Presisi Lampung FC harus dibangun dengan kejujuran, keterlibatan, dan ruang bagi talenta lokal. Jika tidak, Bhayangkara Presisi hanya akan menjadi tamu istimewa: punya rumah mewah, tapi tak pernah benar-benar jadi bagian dari keluarga.
Akhir Kata
Bhayangkara Presisi Lampung FC adalah simbol dari bagaimana sepak bola bisa diseret ke dalam proyek kuasa. Klub ini tidak tumbuh dari komunitas, melainkan hasil pabrikasi politik dan birokrasi. Di satu sisi, bisa memberi prestise dan investasi infrastruktur. Tapi di sisi lain, ia bisa mematikan semangat akar rumput dan memperkuat budaya instan.(*)