Pramoedya.id: Ribuan pelajar Wamena, Papua Pegunungan, berhamburan dihujani gas air mata pada Senin (17/2/2025). Tak kurang dari 3.500-an pelajar SMP, SMA, dan mahasiswa tercatat menolak Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di halaman Kantor Bupati Jayawijaya.
Kejadian ini mencerminkan bahwa rakyat Papua visioner dan memiliki kesadaran tinggi terhadap prioritas pembangunan manusia. Program andalan pemerintah di era Presiden Prabowo tersebut, justru mendapat perlawanan keras dari isi kepala torang Papua yang orang awam nilai tertinggal dari sektor pendidikan.
Lewat unjuk rasa tersebut, rakyat Papua menegaskan sesulit apapun masyarakat tetap bisa makan, namun tidak dengan pendidikan dan kesehatan yang layak. Torang Papua menjelaskan masalah sebenarnya, mereka memasak keresahan dan menyajikan hal itu langsung di meja Kabinet Merah Putih.
“Kitorang tidak ingin makan bergizi gratis, yang kitorang ingin sekolah mudah, mau berobat mudah, itu sudah,” kata Yohans kepada Tempo. Sebuah statement yang barangkali mewakili ribuan demonstran.
Masyarakat luas mungkin masih ingat dengan pernyataan seorang mace Papua dalam sebuah video viral, yang mengaku lebih membutuhkan pendidikan gratis dibandingkan makan gratis. Dengan menunjukkan ubi jalar berukuran besar yang menjadi makanan pokok mereka, ia ingin menegaskan bahwa ketahanan pangan di Papua bukanlah masalah utama. Yang lebih mendesak adalah bagaimana anak-anak bisa mendapatkan akses pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan tanpa hambatan.
Jika dicermati, sebelum adanya Program MBG, keadaan masyarakat berjalan sebagaimana mestinya, anak-anak Indonesia tetap makan. Jika pemerintah menganggap daya beli masyarakat rendah, solusi yang lebih tepat bukan sekadar memberikan makanan gratis, melainkan meningkatkan taraf perekonomian dan kesejahteraan agar mampu memenuhi kebutuhan dasar secara mandiri.
Lebih jauh, kritik terhadap Program MBG ini menunjukkan bahwa kebijakan publik harus berbasis kebutuhan nyata masyarakat. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah di Papua masih lebih rendah dibanding daerah lain. Akses ke fasilitas kesehatan juga menjadi tantangan besar. Dengan kondisi demikian, alangkah lebih baik jika pemerintah lebih dulu memperkuat fondasi pendidikan dan kesehatan sebelum meluncurkan program semacam MBG.
Program MBG bukanlah kebijakan yang buruk, tetapi dalam konteks Papua, kebijakan ini tampak kurang tepat sasaran dan terkesan dipaksakan tanpa kajian mendalam. Kebijakan yang baik seharusnya mendengarkan suara masyarakat dan merespons kebutuhan mendasar mereka. Jika pendidikan dan kesehatan masih menjadi persoalan utama, maka sudah seharusnya pemerintah mengalihkan fokus dan sumber daya untuk menyelesaikan masalah tersebut terlebih dahulu. Sebab, yang dibutuhkan masyarakat bukan hanya perut kenyang hari ini, tetapi juga masa depan yang lebih terang.(*)