Bernapas pun Salah: Dosa Laki-laki di Mata Narasi (Bukan Tulisan untuk Perempuan)

- Editor

Kamis, 17 Juli 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto: Ilustrasi

Foto: Ilustrasi

Setiap zaman punya biasnya sendiri. Dan dalam hal relasi, bias itu kerap tersembunyi dalam narasi: siapa yang paling sering disalahkan, siapa yang paling layak dimengerti, siapa yang selalu mendapat panggung untuk menceritakan versinya. Orang-orang menyerap semua itu lewat cerita, lagu, film, utas di medsos, bahkan caption yang tampaknya remeh. Lama-lama, bias itu jadi kebenaran bersama yang tak lagi dipertanyakan.

Pramoedya.id: Belakangan, medsos gue disesaki narasi tentang perempuan yang terluka dan laki-laki yang melukai. Enggak sedikit yang unggah template macam itu ke status WhatsApp. Narasi yang, meski tak sepenuhnya salah, sering kali menyederhanakan kenyataan.

Dalam banyak cerita, perempuan tampil sebagai korban yang berhak didengar, sementara laki-laki jadi tersangka tetap, even belum sempat bicara.

Gue disclaimer dulu! Tulisan ini bukan upaya untuk menyeimbangkan penderitaan, apalagi membalikkan peran. Gue hanya ingin menyentuh bias itu. Menyentil narasi-narasi yang terlalu cepat menunjuk, tapi enggan melihat lebih jauh. Sebab, luka bisa lahir dari siapa saja. Dan relasi tidak pernah sesederhana siapa yang benar, siapa yang salah.

Dalam konteks yang lebih fundamental, narasi-narasi soal relasi di media sosial lebih mirip kampanye hitam emosional: laki-laki adalah tersangka tetap, perempuan adalah korban sah. Tidak peduli konteksnya, tidak peduli siapa yang memulai atau mengakhiri. Kalau hubungannya kandas, pasti cowoknya yang salah. Kalau ceweknya selingkuh, pasti karena cowoknya kurang perhatian. Kalau cowok marah, dia toxic. Kalau cewek marah, dia self-love.

Tidak ada ruang buat bertanya. Apalagi membantah. Laki-laki yang bersuara malah ditertawakan, disuruh healing sendiri, atau dicap playing victim. Padahal, yang ingin disampaikan sederhana: luka laki-laki itu juga nyata. Hanya saja tak pernah diperlakukan sebagai sesuatu yang layak diceritakan.

Yang Tersangka, Yang Terluka

Dalam bukunya The Myth of Male Power, Warren Farrell menyebut laki-laki sebagai pihak yang paling mudah “dikorbankan” oleh sistem sosial. Mereka dituntut jadi penyelamat, pemberi nafkah, pelindung, tapi sekaligus diposisikan sebagai ancaman dalam banyak narasi relasi. Laki-laki dituntut untuk kuat, logis, dan tenang. Tapi ketika tenang itu berubah jadi diam, mereka dibilang tidak komunikatif. Ketika mulai berbicara, mereka dianggap manipulatif.

Kita hidup pada zaman di mana emosi perempuan dihargai sebagai keberanian, tapi emosi laki-laki dianggap sebagai kelemahan atau ancaman. Ada semacam ketimpangan emosional yang tak terlihat tapi terasa. Seolah dalam hubungan, tugas laki-laki adalah memahami tanpa boleh minta dipahami.

Toxic Femininity: Sebuah Kata Terlarang

Kita terlalu sering mendengar istilah toxic masculinity. Tapi bagaimana dengan toxic femininity?

Kenapa ketika perempuan bersikap posesif, manipulatif, atau playing victim, semua itu justru dikemas sebagai “kecemasan”, “trauma masa lalu”, atau “mekanisme bertahan”? Kenapa ketika perempuan menyakiti, publik buru-buru mencari alasan, tapi ketika laki-laki berbuat salah, publik langsung menunjuk dan memvonis?

Toxic femininity adalah ketika seseorang memakai luka sebagai senjata; ketika merasa paling benar karena merasa paling menderita. Dan sialnya, label korban dalam masyarakat kita adalah imunitas terhadap kritik.

Peran di Balik Topeng: Dari Fanon sampai de Beauvoir

Dalam Black Skin, White Masks, Frantz Fanon menulis tentang bagaimana orang kulit hitam dipaksa memakai topeng “kulit putih” agar bisa diterima. Laki-laki masa kini, secara psikologis, sering mengalami hal serupa. Mereka memakai topeng laki-laki yang “dewasa”, “pengertian”, dan “tidak toxic” agar bisa bertahan dalam relasi yang tidak memberi ruang untuk kesalahan.

Sementara itu, Simone de Beauvoir, dalam The Second Sex, menyebut perempuan sebagai “the Other“, pihak yang selalu didefinisikan oleh laki-laki. Tapi hari ini, dalam konteks relasi, posisi itu terasa berbalik. Laki-laki kini jadi pihak yang harus membuktikan kemanusiaannya di bawah bayang-bayang narasi perempuan yang lebih dulu dianggap benar.

Relasi Tak Butuh Tersangka 

Tulisan ini bukan tentang menyamakan luka. Bukan pula tentang menyalahkan perempuan. Tapi tentang mengajak duduk sebentar dan bertanya: benarkah selama ini kita menjalin hubungan, atau hanya saling membenarkan ego masing-masing?

Kalau semua yang dilakukan laki-laki dianggap berpotensi melukai, dan semua yang dilakukan perempuan dianggap lahir dari luka, maka relasi kita sudah tidak sehat sejak awal.

Barangkali, banyak orang sedang kelelahan memainkan peran yang terus-menerus dibentuk oleh ekspektasi. Laki-laki bosan jadi tersangka. Perempuan lelah jadi korban.(*)

Berita Terkait

Tot Tot Wuk Wuk dan Bias di Jalanan
Biskuit Korupsi: Resep Rahasia Melestarikan Stunting
Rp4,4 Miliar untuk Rumah Dinas Ketua DPRD Lampung di Tengah Kemarahan Publik
Unras Damai Sinyal Pariwisata Lampung “Cerah”
#PolisiPembunuh: Barracuda Menggilas Kepercayaan Rakyat
Anggaran Pendidikan 2026 Setengahnya Jadi Nasi Bungkus
Drama Statistik Indonesia di Meja PBB
Lima BUMD Baru: Ambisi Mirza atau Sekadar Kue Politik?

Berita Terkait

Selasa, 23 September 2025 - 09:48 WIB

Tot Tot Wuk Wuk dan Bias di Jalanan

Minggu, 14 September 2025 - 23:43 WIB

Biskuit Korupsi: Resep Rahasia Melestarikan Stunting

Minggu, 7 September 2025 - 16:43 WIB

Rp4,4 Miliar untuk Rumah Dinas Ketua DPRD Lampung di Tengah Kemarahan Publik

Senin, 1 September 2025 - 22:41 WIB

Unras Damai Sinyal Pariwisata Lampung “Cerah”

Jumat, 29 Agustus 2025 - 07:46 WIB

#PolisiPembunuh: Barracuda Menggilas Kepercayaan Rakyat

Berita Terbaru

Lampung

Jembatan di Lampung Diperiksa Menyeluruh

Rabu, 24 Sep 2025 - 18:58 WIB

Lampung

Pemprov Lampung Bentuk Tim Penyelesaian Konflik Agraria

Rabu, 24 Sep 2025 - 15:29 WIB