“Banyak jalan menuju istana, tapi tidak semuanya dimulai dari musala kecil bernama PMII.”
Pramoedya.id: Barangkali kalimat ini cocok menggambarkan perjalanan Agus Mulyono Herlambang, sosok yang kini ramai diperbincangkan di panggung politik nasional. Dari pucuk pimpinan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dikenal karena idealismenya, Agus kini bermanuver dengan mendaftarkan diri sebagai Ketum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai politik yang belakangan dinilai lebih pragmatis daripada progresif.
Lewat esai ini, kita akan menelusuri bagaimana idealisme yang pernah dibakar dalam kawah candradimuka PMII itu kini diuji dalam gelanggang politik praktis PSI, tempat yang lebih sering bicara viralitas ketimbang substansi.
Jejak Idealisme di PMII
Agus Mulyono Herlambang bukan nama baru dalam dunia aktivisme mahasiswa. Kariernya di PMII terbentang sejak 2006, dari level cabang Jombang hingga menjadi Ketua Umum PB PMII periode 2017–2019. Ia juga sempat menjabat Ketua Bidang Hubungan Internasional dan Jaringan Luar Negeri, bahkan menggagas pendirian PCI PMII di luar negeri. Sebuah prestasi organisatoris yang tak bisa dipandang remeh.
Sebagai organisasi yang lahir sejak 17 April 1960, PMII menekankan semangat progresif dan keadilan sosial. Idealisme juga digodok di sini. Di dalamnya, nilai-nilai seperti pluralisme, antikorupsi, dan keberpihakan pada rakyat menjadi fondasi gerakan. Dan sebagai orang yang pernah menjadi pucuk pimpinan, Agus tentu tahu betul bahwa ia diamanahi untuk menjaga nilai tersebut.
Simpang Jalan: Dari Gerakan ke Panggung Kekuasaan
Namun, politik praktis tak mengenal idealisme sebagai dogma suci. Setelah masa kepemimpinannya di PMII, Agus memilih masuk ke ranah partai politik, sebuah langkah lazim yang ditempuh para mantan aktivis. Pilihannya jatuh pada PSI, partai yang awalnya dikenal dengan semangat “politik baru”: antikorupsi, toleransi, meritokrasi, dan penolakan terhadap budaya feodal.
Agus tidak hanya menjadi anggota, tapi juga juru bicara dan sosok sentral dalam jejaring relawan Gibran pada Pilpres 2024. Ia bahkan telah maju sebagai kandidat calon Ketua Umum PSI. Namun di sinilah titik krusialnya, dari organisasi yang menekankan sikap kritis terhadap kekuasaan, Agus kini berada dalam partai yang dinilai terlalu dekat dengan kekuasaan. Dalam sebuah artikel, Agus bahkan menanti “restu kiai” dari sebuah istana di Solo.
Ketika PSI Menjadi Bayang-bayang Kekuasaan
PSI pernah tampil sebagai partai segar. Namun menjelang Pemilu 2024, citranya berubah drastis. Retorika anti-poligami dan pemberantasan korupsi tertimbun oleh kedekatan mereka dengan kekuatan politik status quo. PSI yang dulu mencitrakan diri sebagai partai penantang, kini kerap dinilai sebagai partai pengekor. Bukan hanya karena mendukung Prabowo-Gibran, tapi karena nihilnya kritik terhadap kebijakan yang mereka dulu lawan.
Di mata sebagian pengamat, PSI bukan hanya kehilangan arah, tapi juga kehilangan nyali. Mereka lebih rajin menanggapi trending topic daripada menyusun agenda publik. Tak heran jika partai ini kemudian disebut partai gimmick yang lebih mengandalkan meme daripada manifesto.
Dan di tengah semua itu, Agus Mulyono Herlambang berada di barisan depan.
Idealisme yang Tergadai, atau Sekadar Berkembang?
Pertanyaannya, apakah ini bentuk “penggadaian” idealisme? Atau sebuah “adaptasi” dalam realitas politik? Di satu sisi, keterlibatan Agus di PSI bisa dibaca sebagai wujud konsistensi berpolitik. Namun di sisi lain, keberadaannya di dalam partai yang kini lekat dengan pragmatisme, menjadi ironi tersendiri. Apalagi saat ia secara terbuka menyatakan menunggu “restu Jokowi” sebelum maju sebagai Ketua Umum PSI. Ya, sebuah gestur yang justru memancarkan loyalisme pada tokoh, bukan pada nilai.
Apakah ini semacam kompromi? Atau bentuk baru dari survivalisme aktivis di dalam sistem politik yang makin transaksional?
Jalan yang Diambil dan yang Ditinggalkan
Perjalanan Agus Mulyono Herlambang dari PMII ke PSI menunjukkan betapa tipisnya batas antara idealisme dan pragmatisme dalam politik Indonesia. Ia bukan satu-satunya mantan aktivis yang menempuh jalan ini, tapi kisahnya mencerminkan satu hal: bahwa medan politik adalah ruang uji paling keras bagi setiap nilai yang pernah dijunjung.
Pada akhirnya, publik berhak bertanya, apakah kader-kader pergerakan seperti Agus benar-benar membawa semangat perubahan ke dalam sistem, atau justru tenggelam dalam arus kepentingan yang mereka dulu kritik?
Tentu lewat tulisan ini saya tak sedang menghakimi. Tapi jika kawah candradimuka hanya menjadi halte sebelum seseorang naik ke kendaraan kekuasaan, maka sudah sepatutnya kita bertanya, siapa yang mengemudi, dan ke mana sebenarnya kita dibawa?(*)