Biskuit Korupsi: Resep Rahasia Melestarikan Stunting

- Editor

Minggu, 14 September 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Foto: Ilustrasi

Foto: Ilustrasi

Di negeri ini, setiap masalah besar selalu punya jalan keluar unik. Kadang masalah itu sengaja tak dipecahkan, melainkan dipelihara karena menguntungkan bagi sebagian orang atau kelompok.

Pramoedya.id: Masyarakat belum lupa skandal mega korupsi bensin oplosan. Eh, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyuguhkan kita “biskuit” balita dan ibu hamil yang takaran gizinya dikurangi. Padahal biskuit PMT (pemberian makanan tambahan) itu dimaksudkan untuk mencegah stunting yang konon jadi masalah serius bangsa.

Stunting disebut ancaman serius, dikaitkan dengan masa depan bangsa, bahkan diposisikan sebagai musuh utama dalam narasi “generasi emas 2045”. Namun alih-alih dibabat habis, stunting justru diberi pupuk dalam bentuk biskuit oplosan. Isinya bukan premix vitamin dan mineral, melainkan gula dan tepung. Sebuah resep rahasia yang diwariskan dari negara kepada balita dan ibu hamil.

Bayi dan ibu hamil, dua kelompok paling rentan ini, seolah masuk ke meja percobaan eksperimen paling ironis. Di satu sisi, mereka dipamerkan dalam kampanye gizi: foto-foto bayi sehat dan ibu hamil tersenyum jadi pajangan di spanduk pemerintah. Di sisi lain, di gudang penyimpanan biskuit PMT (pemberian makanan tambahan), yang dibagikan justru makanan rendah gizi hasil pengurangan komposisi nutrisi. Slogan boleh “melawan stunting”, tapi resep sebenarnya adalah melestarikan stunting. Sebab dari situlah proyek triliunan terus mengalir.

Korupsi dari Perut Balita

KPK sudah memberi bocoran modusnya: premix, yakni zat vitamin dan mineral yang seharusnya dominan, dipangkas. Komposisi diganti dengan gula dan tepung yang jauh lebih murah. Efeknya? Biskuit memang tampak utuh, manis di lidah, tapi hampa nutrisi. Balita tetap kekurangan gizi, ibu hamil tetap rawan anemia, stunting tetap tinggi.

Inilah logika korupsi paling kejam: mencuri bukan hanya uang negara, tapi juga tumbuh kembang entah berapa bayi yang lahir tiap harinya. Kalau jalan tol dikorupsi, paling banter aspal cepat retak. Kalau rumah sakit dikorupsi, mungkin hanya gedungnya bocor. Tapi kalau biskuit balita dikorupsi, yang rusak ialah generasi hidup.

Dan karena mereka yang jadi korban adalah bayi dan ibu hamil, maka kejahatan ini bekerja diam-diam, tanpa perlawanan. Bayi tidak bisa berorasi, ibu hamil tidak mungkin melawan aparat pengadaan. Semua serba sunyi, dan di kesunyian itu, para pengusaha dan pejabat mencomot anggaran sambil berpura-pura peduli.

Jejak Perusahaan dan Tender Oplosan

Kasus ini bukan sekadar gosip. Nama-nama perusahaan pemenang tender sudah muncul dalam dokumen pengadaan.

PT Indofarma Global Medika (Jakarta Selatan), dengan kontrak mencapai Rp 412,39 miliar pada 2018. PT Wahyu Pratama Anugrah (Jakarta Barat), memegang kontrak sekitar Rp 206,96 miliar pada 2016. PT Andara Satria Jaya (Bogor, Jawa Barat), menang kontrak Rp 56,69 miliar di tahun 2018. Dan terakhir PT PIM, ikut mengantongi kontrak senilai Rp 39,83 miliar.

Setidaknya nama-nama itu lah yang sudah muncul dalam proses penyelidikan KPK dengan tema “Korupsi Biskuit Bayi 2016-2020”. Nilai kontrak jumbo itu dikucurkan dengan alasan menekan stunting. Tapi yang sampai ke mulut balita hanyalah biskuit dengan gizi dikurangi.

KPK sendiri sudah memeriksa pihak perusahaan, termasuk satu figur yang disebut “MJ” dari pemenang tender. Sejumlah paket pengadaan juga terindikasi sudah “dikondisikan”, dengan penawaran yang rata-rata di atas 99 persen dari HPS. Artinya, tender sekadar formalitas; pemenang sudah disiapkan sejak awal.

Stunting Itu Aset

Korupsi PMT membuka wajah asli program gizi negara: stunting tidak pernah sungguh-sungguh dianggap musuh, melainkan aset politik-ekonomi.

Logikanya sederhana: kalau stunting tuntas, anggaran bisa hilang. Kalau stunting berkurang drastis, proyek-proyek bergizi gratis tidak relevan lagi. Karena itu, stunting lebih baik dipelihara. Ia harus tetap ada, supaya proyek bisa dianggarkan ulang tiap tahun, dengan nilai yang makin besar. Dari sini kita bisa melihat ironi: negara bukan hanya gagal mengatasi stunting, tapi justru punya kepentingan agar stunting bertahan.

Itu sebabnya gizi diganti gula. Karena dengan gula, proyek bisa terus manis bagi mereka yang menggarapnya. Dengan tepung, uang negara bisa lebih mudah ditabur ke kantong-kantong pribadi.

Populisme Perut dan Panggung Politik

Kasus PMT ini juga menyingkap wajah lain populisme perut. Pemerintah sibuk menjual jargon “makan bergizi gratis” untuk anak sekolah, menjanjikan susu, telur, nasi, dan lauk sehat. Tapi ketika praktiknya kita menoleh ke belakang, justru yang dibagikan adalah biskuit oplosan tanpa gizi.

Apa gunanya pidato tentang generasi emas 2045 jika sejak dini anak-anak dipaksa menelan korupsi? Bagaimana bisa membayangkan produktivitas kelas dunia, sementara tubuh balita dibentuk oleh tepung dan gula dengan label nutrisi?

Kita sedang menyaksikan drama besar: negara bermain peran sebagai penyelamat, padahal di balik layar justru jadi pemasok racun halus.

Si Kecil dalam Bayangan Besar

Pada akhirnya, kasus ini bukan sekadar soal angka kerugian negara, tapi soal warisan tubuh bangsa. Bayi-bayi yang lahir hari ini dipaksa tumbuh dengan tubuh setengah sehat, setengah kuat, setengah produktif. Dan itu terjadi bukan karena alam, melainkan karena tangan manusia yang mengoplos nutrisi demi rente.

Jika benar ada resep rahasia melestarikan stunting, maka korupsi PMT adalah buku masakannya. Sederhana saja, ambil anggaran gizi, kurangi nutrisi, tambahkan gula, aduk rata dengan tepung, sajikan kepada balita, lalu nikmati keuntungan.

Di negeri ini, korupsi memang punya daya cipta yang luar biasa. Ia bisa mengubah makanan sehat jadi bisnis busuk. Ia bisa menjadikan bayi mungil sebagai modal politik. Dan ia bisa melestarikan stunting dengan penuh kesabaran, sampai akhirnya generasi emas 2045 tiba. Namun bukan dengan tubuh sehat, melainkan tubuh yang diwarisi kelemahan sejak dalam biskuit.(*)

Berita Terkait

Tot Tot Wuk Wuk dan Bias di Jalanan
Rp4,4 Miliar untuk Rumah Dinas Ketua DPRD Lampung di Tengah Kemarahan Publik
Unras Damai Sinyal Pariwisata Lampung “Cerah”
#PolisiPembunuh: Barracuda Menggilas Kepercayaan Rakyat
Anggaran Pendidikan 2026 Setengahnya Jadi Nasi Bungkus
Drama Statistik Indonesia di Meja PBB
Lima BUMD Baru: Ambisi Mirza atau Sekadar Kue Politik?
Sekolah Rakyat Kehilangan Rakyat — Ratusan Siswa dan Guru Mundur

Berita Terkait

Selasa, 23 September 2025 - 09:48 WIB

Tot Tot Wuk Wuk dan Bias di Jalanan

Minggu, 14 September 2025 - 23:43 WIB

Biskuit Korupsi: Resep Rahasia Melestarikan Stunting

Minggu, 7 September 2025 - 16:43 WIB

Rp4,4 Miliar untuk Rumah Dinas Ketua DPRD Lampung di Tengah Kemarahan Publik

Senin, 1 September 2025 - 22:41 WIB

Unras Damai Sinyal Pariwisata Lampung “Cerah”

Jumat, 29 Agustus 2025 - 07:46 WIB

#PolisiPembunuh: Barracuda Menggilas Kepercayaan Rakyat

Berita Terbaru

Lampung

Jembatan di Lampung Diperiksa Menyeluruh

Rabu, 24 Sep 2025 - 18:58 WIB

Lampung

Pemprov Lampung Bentuk Tim Penyelesaian Konflik Agraria

Rabu, 24 Sep 2025 - 15:29 WIB