“Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya.” — Mark Twain.
Pramoedya.id: Kutipan dari sastrawan Amerika yang terkenal dengan humor satirnya itu awalnya terdengar seperti lelucon klasik, tapi di Indonesia justru terdengar seperti berita harian, bahkan sesuai dengan kondisi kekinian. Twain sedang menertawakan betapa sekolah sering sibuk dengan seragam dan nilai ujian, tapi melupakan inti pendidikan.
Indonesia punya 20 persen APBN yang wajib disalurkan untuk pendidikan, tapi hasilnya, kualitas sekolah tetap compang-camping, guru masih gitu-gitu aja dengan keluhannya, dan anak-anak tetap sibuk les di luar sekolah.
Yang lebih gokil, angka 20 persen APBN itu sudah jadi tadisi: selalu disebut di pidato presiden, diulang di rapat DPR, jadi headline media. Tapi begitu ditanya “mana dampaknya?” Seketika hening. Angka itu lebih sering jadi bahan power point ketimbang jadi bangunan sekolah yang kokoh atau gaji guru yang layak.
Nah, sekarang bayangkan, kalau 20 persen APBN saja nyaris tak mengubah wajah pendidikan kita, bagaimana jadinya ketika 44 persen APBN dialihkan untuk Makan Bergizi Gratis (MBG)? Anggaran jumbo ini lebih mirip program “catering nasional” ketimbang strategi mencerdaskan bangsa.
Kurang lebih begini. Tahun 2026, pemerintah mencatatkan sejarah baru dengan mengalokasikan Rp757,8 triliun untuk pendidikan. Angka ini melonjak hampir Rp68 triliun dari outlook 2025 sebesar Rp690 triliun, atau naik sekitar 9,8 persen hanya dalam setahun. Rekor tertinggi sepanjang sejarah APBN ini menegaskan komitmen pemerintah menjaga porsi 20 persen belanja negara untuk sektor pendidikan.
Tapi dari angka jumbo itu, ada fakta yang bikin alis terangkat: Rp335 triliun atau sekitar 44 persen langsung dialokasikan ke program Makan Bergizi Gratis (MBG). Artinya, hampir separuh anggaran pendidikan 2026 dipakai untuk urusan perut, bukan buku, laboratorium, atau riset.
Di sinilah kebijakan jadi komedi. Pendidikan dianggap urusan belakang, sementara makan siang gratis jadi headline. Barangkali negara ingin mencetak generasi yang pintar mengunyah, bukan yang pintar berpikir.
Jujur, nama program ini aja sudah salah sejak awal. Makan bergizi gratis itu gak gratis bro! Barangkali ada pajak tuan dan puan di situ.
Sri Mulyani bahkan pernah dengan jujur berkata, guru adalah beban negara. Kalimat ini bukan cuma bikin kita terdiam sejenak, perkataan legendaris ini juga membuat masyarakat ketawa getir. Bagaimana bisa orang yang seharusnya jadi pilar utama pendidikan justru dilabeli sebagai beban? Kalau guru beban, murid apa? Barang bawaan? Kalau begitu, sekalian saja nanti kurikulum diganti jadi “cara hemat makan siang dengan nasi kucing.”
Mari kita tengok tetangga. Vietnam, misalnya. Anggaran pendidikannya tidak semewah kita, tapi mereka bisa bikin anak-anaknya nangkring di papan atas tes PISA, salah satu parameter pendidikan global. Kita? Sudah bertahun-tahun dapat porsi 20 persen APBN, tapi selalu konsisten di papan bawah. Kalau PISA itu kompetisi olahraga, pelajar Indonesia ini atlit andalan: paling jago lompat jauh, dari harapan ke kenyataan.
Jadi, jangan heran kalau nanti 44 persen dari 20 persen APBN pendidikan buat makan siang gratis justru melahirkan ranking baru: Indonesia nomor satu dunia dalam kompetisi “murid paling kenyang.” Sementara di ranking literasi, kita tetap setia jadi penonton.
Toh kata Twain, sekolah itu jangan sampai ganggu pendidikan. Jadi mungkin logikanya pemerintah: kalau sudah makan gratis, otak kenyang sendiri. Kalau guru dibilang beban negara, ya sudah, nanti murid bisa belajar langsung dari warteg.
Indonesia ini memang cerdas. Di negara lain, pendidikan itu investasi. Di sini, pendidikan itu sekalian diet plan. Pokoknya rakyat belajar kenyang dulu, baru pintar belakangan.(*)