Pramoedya.id: Dari 5.969 kasus HIV yang tercatat hidup dan mengetahui statusnya di Provinsi Lampung per Juni 2025, lebih dari separuhnya berasal dari komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT), terutama kelompok laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) dan waria. Dinas Kesehatan menyebut kelompok ini sebagai populasi kunci yang paling terdampak.
“Tren kasus terus naik dalam lima tahun terakhir, dan paling signifikan berasal dari populasi kunci seperti LSL,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Lampung, Lusi Darmayanti, ketika diwawancari melalui jaringan WhatsApp, Senin (4/8/2025)
Ia menyebut komunitas LGBT masuk dalam kategori risiko tinggi, bukan karena orientasinya, tapi karena akses layanan yang masih terbatas, stigma sosial, dan praktik seks tanpa kondom yang terjadi akibat ketimpangan daya tawar.
Dinas Kesehatan, sambung Lusy, juga mencatat ada 559 kasus baru HIV selama semester pertama 2025. Bandar Lampung menjadi wilayah dengan sebaran tertinggi. Tapi Lusi menyebut peningkatan ini juga menunjukkan keberhasilan deteksi dini.
“Kami tidak lagi bicara soal moral. Ini soal kesehatan publik,”sambungnya.
Sejak 2002, kasus HIV mulai dipantau, awalnya dengan pencatatan manual. Tahun 2010, sistem SIHA (Sistem Informasi HIV-AIDS) diaktifkan. Bersama LSM dan layanan komunitas, penjangkauan terhadap populasi kunci makin diperkuat.
“Sampai hari ini, tantangan terbesar kami bukan virusnya. Tapi stigma masyarakat,” jelas Lusi.
Menurutnya, pendekatan pengendalian HIV yang menghakimi justru kontraproduktif. Banyak anggota komunitas LGBT yang enggan memeriksakan diri karena takut dicap.
“Padahal kami punya layanan VCT, PrEP, bahkan konseling. Tapi kalau mereka takut datang, kita gagal,” katanya.
Yang mengkhawatirkan, remaja juga mulai masuk kelompok rawan. Studi internal Dinkes menunjukkan 50 persen remaja melakukan hubungan seksual karena ingin tahu.
“Tapi literasi seksual mereka minim. Mereka tidak tahu risiko, dan tidak tahu ke mana harus bertanya,” tutupnya. (*)