Pramoedya.id: Ada harapan, lalu ada realitas. Di Sydney, Timnas Indonesia memulai laga melawan Australia dengan sesuatu yang jarang mereka dapatkan: penalti di menit awal. Rafael Struick dijatuhkan di kotak terlarang, dan Kevin Diks maju sebagai eksekutor. Sebuah momen yang bisa jadi awal cerita heroik. Tapi bola lebih memilih tiang ketimbang jaring.
Lalu, Australia membalas dengan cara yang sama. Mereka dapat penalti, tapi Martin Boyle tak membuang peluang. Socceroos unggul 1-0, dan dari situ, pertunjukan sepenuhnya jadi milik tuan rumah. Jackson Irvine mencetak dua gol, Nishan Velupillay dan Lewis Miller masing-masing menyumbang satu. Hasil akhir? 5-1 untuk Australia. Ole Romeny sempat mencetak gol hiburan bagi Indonesia, tapi sulit disebut hiburan kalau tim tertinggal lima gol sebelumnya.
Pelatih Patrick Kluivert, yang biasanya tenang, tetap memilih untuk menyoroti usaha timnya. “Kita harus belajar dari pertandingan ini,” katanya. Kalimat klasik pelatih yang timnya baru saja kalah besar. Tapi ya, memang harus belajar. Dari penalti yang gagal, dari pertahanan yang rapuh, dari kesempatan yang tak diambil.
Toh, ini bukan soal satu pertandingan. Ini soal langkah panjang ke depan. Indonesia ingin bersaing di kualifikasi Piala Dunia, tapi laga ini menunjukkan betapa lebar jurang yang masih harus diseberangi. Masalahnya, jembatan untuk menyebrangi jurang itu belum terlihat jelas.
Kekalahan ini bukan akhir, tapi jelas sebuah peringatan. Jika ingin lebih dari sekadar peserta di panggung besar, Timnas Indonesia harus belajar lebih dari sekadar “berusaha.” Karena dalam sepak bola, niat baik saja tidak cukup—eksekusi yang menentukan.(*)